Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah mengembangkan sistem diagnosis malaria berbasis kecerdasan buatan (AI) yang menjanjikan peningkatan akurasi. Sistem ini dirancang untuk menganalisis mikrofotografi sediaan darah secara mendalam, secara otomatis menentukan status infeksi malaria pasien.
Data yang digunakan untuk melatih sistem AI ini berasal dari berbagai wilayah endemik malaria di Indonesia, termasuk Papua, Kalimantan, dan Sumba Barat Daya.
Menurut Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN, sistem AI ini memanfaatkan ekstraksi fitur morfo-geometris. Artinya, AI mampu mengidentifikasi karakteristik unik dari ukuran dan bentuk sel darah yang terinfeksi parasit malaria.
Penting untuk dicatat, sistem AI ini bukan bertujuan untuk menggantikan peran dokter atau ahli mikroskopis. Sebaliknya, sistem ini berfungsi sebagai alat bantu yang mempercepat dan meningkatkan akurasi pengambilan keputusan diagnosis.
Tantangan utama dalam pengembangan sistem AI ini terletak pada perubahan morfologi parasit malaria seiring waktu dan siklus hidupnya. Parasit mengalami berbagai tahap perkembangan, mulai dari luar tubuh manusia hingga menyerang sel darah, yang menyebabkan perubahan bentuk. Hal ini menyulitkan identifikasi jenis parasit malaria seperti falciparum, vivax, ovale, atau malariae.
Saat ini, sistem AI ini telah mencapai akurasi 80,60% dengan tingkat sensitivitas 84,37%. Hasil ini diperoleh dari pengujian menggunakan kumpulan data yang terdiri dari 1388 mikrofotografi yang disediakan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman BRIN.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN menambahkan bahwa pendekatan mikroskopis berbasis AI ini krusial untuk meningkatkan sensitivitas dan akurasi diagnosis malaria. Diagnosis yang tepat sangat penting untuk menentukan penanganan selanjutnya, termasuk pemilihan pengobatan dan penilaian tingkat keparahan penyakit.
Pengembangan sistem AI ini diharapkan dapat berkontribusi signifikan dalam menurunkan kasus malaria di Indonesia, terutama di daerah terpencil, melalui diagnosis dini dan pengobatan yang cepat. Riset ini dilakukan bersama dengan Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN, dengan pengembangan diagnosis malaria berbasis algoritma Plasmodium.
Tantangan besar yang dihadapi saat ini adalah belum adanya standarisasi pewarnaan yang tepat untuk gambar yang akan dianalisis. Namun, pengembangan terus dilakukan dengan memanfaatkan AI untuk mengatasi masalah ini.