Di tengah hiruk pikuk pemilihan pemimpin Vatikan yang baru, bayangan kelam skandal pelecehan seksual anak-anak oleh oknum rohaniawan masih menghantui. Warisan kepemimpinan Paus Fransiskus dalam menangani krisis ini menjadi sorotan tajam.
Meskipun diakui telah mengambil langkah lebih maju dibanding para pendahulunya dalam mengakui korban dan mereformasi prosedur internal, banyak pihak, terutama para penyintas, merasa bahwa upaya tersebut belum memadai.
Alexa MacPherson adalah salah satu korban yang merasakan dampak langsung dari kejahatan ini. Pelecehan yang dialaminya oleh seorang pastor Katolik dimulai sejak usia tiga tahun dan berlangsung selama enam tahun. Tragedi ini terungkap ketika ayahnya memergoki pastor tersebut mencoba melakukan kekerasan seksual padanya.
Kasus ini seharusnya dibawa ke pengadilan pada tahun 1984. Namun, Gereja Katolik, yang memiliki pengaruh besar, diduga melakukan intervensi. Sebuah surat rahasia dari Uskup Agung Boston saat itu mengungkapkan upaya untuk melindungi pastor pelaku dan menghindari skandal yang lebih besar.
MacPherson, yang mengalami kejadian traumatis ini jauh sebelum era kepemimpinan Paus Fransiskus, meyakini bahwa Gereja belum sepenuhnya mengatasi tantangan eksploitasi seksual sistemik terhadap anak-anak. Ia merasa tidak ada perubahan signifikan yang dirasakan setelah kematian Paus Fransiskus.
Surat Uskup Agung Bernard Law pada tahun 1984 ditujukan kepada seorang uskup di Thailand, berisi permohonan agar pastor pelaku ditarik kembali ke keuskupannya di Thailand, dengan alasan menghindari "skandal besar".
Namun, alih-alih menindaklanjuti saran untuk menghukum pastor tersebut, Uskup Agung justru berusaha melindunginya. Pastor tersebut kemudian menemukan pekerjaan di Boston, di sebuah fasilitas untuk orang dewasa dengan disabilitas belajar.
Baru pada tahun 2002, setelah dipublikasikan oleh Gereja Katolik atas perintah Pengadilan Boston, surat Uskup Agung tersebut terungkap ke publik. Hal ini memicu gelombang tuntutan hukum dari para korban pelecehan seksual.
MacPherson adalah salah satu dari lebih dari 500 korban yang memenangkan gugatan perdata senilai jutaan dolar atas pelecehan yang mereka alami. Kasus ini mengungkap bahwa Uskup Agung Bernard Law berulang kali menangani kasus-kasus pelecehan dengan cara yang sama: memindahkan para pastor ke paroki-paroki lain.
Meskipun Paus Fransiskus telah melakukan beberapa langkah, seperti mengadakan konferensi tentang krisis pelecehan pada tahun 2019 dan merevisi hukum Gereja tentang "kerahasiaan kepausan", para kritikus berpendapat bahwa perubahan tersebut belum cukup.
Pengacara MacPherson, Mitchell Garabedian, berpendapat bahwa Gereja masih memiliki banyak cara untuk menyembunyikan informasi terkait pelecehan. Ia yakin bahwa banyak gereja di seluruh dunia mengetahui tentang kesalahan yang terjadi dan pengetahuan itu tetap disembunyikan.
MacPherson berharap agar Gereja membeberkan semua hal yang mereka ketahui, mengungkap para pastor predator dan orang-orang yang menutup-nutupi skandal ini, serta meminta pertanggungjawaban mereka di pengadilan hukum biasa.
Sementara itu, Peter Kanchong, pastor yang melakukan pelecehan terhadap MacPherson, belum pernah dihukum atas suatu pelanggaran pun dan masih berstatus sebagai pastor yang "absen tanpa izin".
Menjelang pemilihan Paus baru, Alexa MacPherson tidak memiliki banyak harapan untuk reformasi yang lebih komprehensif. Ia berharap agar Gereja benar-benar mengakui dosa-dosa mereka dan meminta pertanggungjawaban orang-orang yang bertanggung jawab.