Pendiri Microsoft, Bill Gates, kembali menunjukkan komitmennya dalam membantu Indonesia dengan memberikan hibah dana sebesar US$159 juta atau sekitar Rp2,6 triliun. Dana ini akan dialokasikan untuk berbagai sektor vital, dengan fokus utama pada kesehatan (US$119 juta), pertanian dan teknologi (masing-masing US$5 juta), serta bantuan sosial lintas sektoral (lebih dari US$28 juta).
Namun, jumlah ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan total donasi yang telah disumbangkan Gates seumur hidupnya. Dalam sebuah wawancara, Gates mengungkapkan bahwa ia telah menyumbangkan US$100 miliar, setara dengan Rp1,65 kuadriliun, jumlah yang hampir setara dengan total perekonomian Bulgaria. Meski demikian, ia menegaskan bahwa dirinya masih memiliki banyak lagi yang bisa disumbangkan.
Filantropi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Gates. Ia menggabungkan kekayaannya dengan Warren Buffett melalui Yayasan Gates, yang didirikan bersama mantan istrinya, Melinda. Gates menuturkan bahwa ibunya selalu menekankan bahwa semakin besar kekayaan, semakin besar pula tanggung jawab untuk berbagi. Bahkan setelah menyumbangkan puluhan miliar dolar, Gates mengaku gaya hidupnya tidak banyak berubah dan tetap mampu menikmati kemewahan.
Mengunjungi Masa Kecil Sang Miliarder
Gates mengajak publik menengok kembali masa kecilnya di Seattle, di rumah empat kamar tidur tempat ia dibesarkan. Ia bahkan menulis buku tentang masa-masa awalnya, berjudul "Source Code: My Beginnings". Bersama kedua saudara perempuannya, Kristi dan Libby, Gates mengenang masa lalu, termasuk sistem interkom yang digunakan ibunya untuk membangunkan mereka di pagi hari. Semangat kompetitifnya diturunkan dari sang nenek, yang mengajarinya strategi memenangkan permainan kartu sejak usia dini.
Pengakuan tentang Autisme
Dalam memoarnya, Gates membuat pengakuan mengejutkan dengan menyatakan bahwa jika ia tumbuh dewasa saat ini, kemungkinan ia akan didiagnosis dengan spektrum autisme. Hal ini menjelaskan kemampuannya untuk fokus secara mendalam pada bidang yang diminatinya, sifat obsesifnya, dan kurangnya kesadaran sosial. Saudara-saudaranya membenarkan bahwa Gates memang berbeda sejak kecil, dan Libby, yang berprofesi sebagai terapis, tidak terkejut dengan pengakuan tersebut.
Gates menekankan bahwa ia belum memiliki diagnosis resmi dan tidak berencana untuk mendapatkannya. Ia berpendapat bahwa karakteristik positif yang dimilikinya justru lebih bermanfaat bagi karirnya. Ia juga memberikan pandangannya tentang kebijakan pemerintah terkait kebebasan berbicara dan kebenaran di media sosial, serta perlunya melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial.
Kisah di Balik Kesuksesan
Kisah Bill Gates bukanlah kisah tentang orang miskin yang menjadi kaya. Ayahnya adalah seorang pengacara, namun keputusan untuk menyekolahkannya di sekolah swasta adalah sebuah pengorbanan. Di sekolah inilah Gates pertama kali mendapatkan akses ke komputer mainframe, berkat inisiatif para ibu yang mengumpulkan dana melalui obral barang bekas. Bersama teman sekolahnya, Paul Allen, Gates mendirikan Microsoft, mewujudkan rencana besar yang telah mereka impikan sejak lama.