Ekonomi Indonesia Awal Era Prabowo: Pertumbuhan Melambat dan Ancaman Pengangguran Meningkat

Kinerja ekonomi Indonesia di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan sinyal kurang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 hanya mencapai 4,85% (year-on-year), menjadi angka terendah sejak kuartal III 2021. Angka ini lebih rendah dibandingkan kuartal I 2024 (5,11%) maupun kuartal IV 2024 (5,02%).

Penurunan signifikan terjadi pada pengeluaran konsumsi pemerintah yang terkontraksi menjadi minus 1,38%, padahal pada kuartal I 2024 tumbuh 20,44%. Konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) juga mengalami penurunan tajam dari 24,13% menjadi hanya 3,07%. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang porsi besar (54,53%) terhadap PDB, hanya tumbuh tipis 4,89%.

Berkurangnya belanja pemerintah disinyalir menjadi penyebab utama perlambatan ekonomi ini. Percepatan belanja negara dianggap kunci untuk mengatasi masalah ini.

Di sisi lain, pasar tenaga kerja juga menunjukkan indikasi negatif. Jumlah pengangguran meningkat menjadi 7,28 juta orang, bertambah 82 ribu orang dalam setahun terakhir.

Para analis ekonomi menilai pertumbuhan ekonomi yang rendah ini sebagai sinyal darurat bagi ekonomi Indonesia. Peningkatan konsumsi masyarakat saat Lebaran ternyata belum mampu mendongkrak pertumbuhan secara signifikan. Ketidakpastian global, seperti lesunya permintaan dari China dan perang dagang AS, turut memperburuk kinerja ekspor industri dalam negeri. Hal ini berdampak pada penurunan perputaran uang, PHK, dan penurunan daya beli masyarakat.

Selain itu, terdapat indikasi keluarnya modal asing (capital flight) yang memperburuk kondisi ekonomi. Pemerintah dinilai belum memberikan insentif dan stimulus yang memadai untuk menjaga kelangsungan industri, mempertahankan tenaga kerja, dan memberikan bantuan bagi mereka yang terkena PHK.

Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah juga menjadi sorotan. Efisiensi anggaran dinilai kurang tepat dilakukan di saat ekonomi membutuhkan stimulus. Pengurangan belanja pemerintah justru dapat memperlambat pemulihan.

Jika kebijakan tidak berubah, ekonomi Indonesia berpotensi mengalami penurunan lebih lanjut. Hal ini dapat memperparah gelombang PHK dan meningkatkan kesulitan hidup masyarakat. Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran dan meningkatkan stimulus untuk menggenjot daya beli agar pertumbuhan ekonomi dapat kembali ke angka 5%.

Scroll to Top