Produksi minyak mentah Indonesia pada tahun 2024 mencatatkan angka yang memprihatinkan, hanya 580 ribu barel per hari, jauh di bawah konsumsi nasional yang mencapai 1,6 juta barel per hari. Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan masa keemasan industri perminyakan Indonesia di tahun 1997.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan kecurigaannya bahwa penurunan produksi minyak ini bukanlah semata-mata disebabkan oleh menipisnya sumber daya alam. Ia menduga kuat adanya faktor kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dengan impor minyak secara berkelanjutan.
"Apakah kita benar-benar sudah kehabisan sumber daya? Atau ini memang sengaja dibuat turun supaya kita terus impor? Saya jujur katakan, menurut saya ini ada unsur kesengajaan, ini ‘by design’," tegasnya.
Bahlil menjelaskan bahwa Indonesia masih memiliki potensi migas yang sangat besar, dengan puluhan ribu sumur yang belum dimaksimalkan. Ia menyoroti lemahnya pemanfaatan sumber daya yang ada, yang ia nilai sebagai dampak dari kebijakan yang kurang mendukung peningkatan produksi. Ia juga mengkritisi perubahan regulasi yang justru melemahkan kinerja Pertamina.
"Kalau pelemahan itu datang dari dalam, dari oknum pejabat atau BUMN, di situlah awal kehancuran negara," imbuhnya.
Menteri Bahlil mengaku mendapat tekanan dan godaan terkait isu ini, namun ia menyatakan penolakannya. Ia menegaskan komitmennya untuk menjaga kedaulatan energi nasional dan akan mengevaluasi perizinan yang terbengkalai, termasuk ratusan hasil eksplorasi yang belum memiliki rencana pengembangan (Plan of Development/POD).
Secara terbuka, Bahlil juga menyoroti kinerja perusahaan minyak asing yang dianggap tidak memenuhi kewajibannya. Ia secara khusus menyoroti Inpex, yang disebut telah menguasai konsesi selama puluhan tahun tanpa kemajuan signifikan. "Saya akan evaluasi sampai pada tingkat pencabutan izin. Saya tidak main-main," pungkasnya.