Merajut Masa Depan Budaya Sunda 5.0: Internet Merata Sebagai Hak untuk Belajar

Era Society 5.0 menjanjikan kemajuan melalui kecerdasan buatan, namun kesenjangan akses internet mengancam kearifan lokal. Gagasan "Internet Merata sebagai Hak Belajar" hadir sebagai solusi, berlandaskan pendidikan holistik yang menekankan nalar, nurani, dan karya. Hal ini sejalan dengan semangat Hardiknas 2025 dan Harkitnas ke-117, yang menekankan pentingnya kolaborasi untuk mewujudkan pendidikan berkualitas bagi semua.

Namun, riset di Jawa Barat mengungkap bahwa sebagian besar guru masih berfokus pada aspek kognitif. Artikel ini menyoroti pentingnya menjadikan internet sebagai hak, bukan sekadar fasilitas, guna memberdayakan dan melestarikan budaya Sunda menuju Indonesia Emas 2045.

Berikut adalah lima nilai edukasi utama dari inisiatif "Internet Merata sebagai Hak Belajar":

1. Akses yang Setara: Infrastruktur internet yang memadai di seluruh pelosok Jawa Barat memungkinkan setiap siswa, tanpa terkecuali, mengakses sumber daya daring seperti naskah Pantun dan mengikuti pembelajaran hibrida. Jaringan yang stabil menghilangkan hambatan biaya transportasi, mengurangi ketertinggalan belajar, dan memastikan koneksi internet sebagai kebutuhan dasar, setara dengan listrik dan air bersih.

2. Kreativitas Tanpa Batas: Siswa dapat memanfaatkan perangkat seluler untuk menciptakan konten kreatif seperti vlog berbahasa Sunda, animasi Kawih, dan komik digital. Konten yang dihasilkan diarahkan untuk menumbuhkan empati dan estetika, dengan riset mendalam sebelum kreasi, sehingga menghasilkan karya berbasis data, bukan sekadar mengikuti tren viral. Budaya tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diinterpretasikan ulang secara kontekstual.

3. Kolaborasi Antarbudaya: Platform belajar daring memfasilitasi diskusi antara siswa dari berbagai negara, memungkinkan pertukaran ide dan nilai-nilai universal. Jembatan digital ini mengubah budaya dari entitas statis menjadi dialog yang dinamis, memperkaya identitas Sunda tanpa terjebak dalam pandangan sempit. Kearifan lokal diakui dan dihargai di kancah global.

4. Transparansi dan Akuntabilitas: Informasi publik mengenai akses internet, jumlah materi budaya yang diunggah, dan jejak karbon server tersedia secara real-time. Data terbuka mendorong pemerintah, sekolah, dan operator untuk mengatasi area tanpa sinyal. Mekanisme umpan balik dari masyarakat memastikan kebijakan yang inklusif dan tanggung jawab bersama dalam menjaga sumber daya digital dan lingkungan.

5. Pelestarian Identitas melalui Monetisasi Hijau: Inisiatif lokal menggabungkan ekonomi hijau dengan konten budaya, seperti NFT musik angklung yang terkait dengan program reboisasi, atau tur virtual karinding yang mendanai konservasi bambu. Monetisasi yang berkelanjutan memastikan aset alam dan budaya tidak dieksploitasi, melainkan dipulihkan. Etika yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur menjadi kompas bagi para pelaku kreatif.

Internet yang merata adalah fondasi bagi transformasi budaya Sunda di era 5.0. Pemerintah perlu mempercepat perluasan jaringan dan memberikan subsidi perangkat. Lembaga pendidikan harus mengintegrasikan kurikulum yang berfokus pada proyek digital. Komunitas dan dunia usaha perlu mengembangkan model bisnis hijau yang mendukung pelestarian warisan budaya. Tanpa upaya bersama, bonus demografi 2030 hanya akan menghasilkan penonton, bukan pencipta.

Dengan berlandaskan cinta, teknologi tidak akan menggerus budaya, melainkan memperkuat identitas. Sunda terkoneksi, Indonesia pun semakin kuat.

Scroll to Top