Harga Batu Bara Meroket: Trump Selamatkan Industri Batu Bara AS?

Harga batu bara mencatatkan kenaikan signifikan dalam dua hari berturut-turut, didorong oleh ambisi Presiden Donald Trump untuk menghidupkan kembali sektor batu bara di Amerika Serikat.

Pada 26 Mei 2025, harga batu bara mencapai US$108,35 per ton, naik 1,83% dibandingkan penutupan perdagangan 23 Mei 2025 yang berada di level US$106,4 per ton. Angka ini menjadi rekor tertinggi dalam kurun waktu sekitar 2,5 bulan terakhir, tepatnya sejak 11 Maret 2025.

Pemerintahan Trump mengambil langkah drastis dengan menggunakan wewenang darurat untuk mempertahankan operasional pembangkit listrik tenaga batu bara J.H. Campbell di Michigan. Pembangkit ini sedianya akan ditutup pada 31 Mei 2025.

Departemen Energi AS (DOE) mengeluarkan perintah darurat pada 23 Mei 2025, dengan alasan "meminimalkan risiko pemadaman listrik dan mengatasi masalah keamanan jaringan listrik yang kritis" di wilayah Midwest. Perintah tersebut memerintahkan pembangkit listrik JH Campbell, yang berkapasitas 1.560 megawatt, untuk membatalkan rencana penutupannya dan terus beroperasi setidaknya hingga akhir Agustus.

Consumers Energy, perusahaan utilitas pemilik pembangkit, sebelumnya telah merencanakan penutupan sebagai bagian dari transisi menuju sumber energi yang lebih bersih. Namun, perintah darurat ini menunda penutupan pembangkit selama minimal 90 hari, memaksa perusahaan untuk mempertahankan operasionalnya meskipun menghadapi biaya tinggi dan dampak lingkungan yang signifikan.

Presiden Trump mengeluarkan serangkaian perintah eksekutif pada bulan April yang bertujuan untuk "membawa kembali" industri batu bara AS. Perintah ini memberi wewenang kepada DOE untuk menjadikan keandalan jaringan listrik sebagai justifikasi untuk mempertahankan operasional pembangkit listrik tenaga batu bara.

Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen kuat pemerintahan Trump untuk mendukung industri batu bara, meskipun ditentang oleh pihak-pihak yang mendukung transisi menuju energi bersih. Kenaikan harga batu bara saat ini menjadi indikasi awal dampak kebijakan tersebut terhadap pasar energi global.

Scroll to Top