Pemerintahan Donald Trump mengambil langkah drastis dengan mencabut hak Universitas Harvard untuk menerima mahasiswa internasional. Kebijakan ini berlaku mulai tahun ajaran 2025-2026.
Keputusan kontroversial ini diumumkan oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, yang memerintahkan penghentian sertifikasi program mahasiswa dan pertukaran Harvard. Tak hanya itu, dana hibah federal senilai US$3 miliar (sekitar Rp48 triliun) juga dibekukan, memicu gugatan balik dari pihak universitas.
Gelombang serangan Trump terhadap Harvard berlanjut dengan pembatalan semua sisa kontrak badan federal yang diperkirakan bernilai US$100 juta (sekitar Rp1,6 triliun).
Apa yang Memicu Perseteruan Ini?
Awalnya, Menteri Noem meminta Harvard menyerahkan sejumlah besar data pribadi mahasiswanya, termasuk tugas kuliah mahasiswa internasional, riwayat disiplin, dan catatan hukum pemegang visa pelajar. Permintaan diperluas hingga mencakup rekaman video mahasiswa internasional yang terlibat dalam kegiatan ilegal, berbahaya, atau aksi protes dalam lima tahun terakhir, baik di dalam maupun di luar kampus.
Harvard menolak sebagian permintaan tersebut, yang kemudian menjadi pemicu pencabutan program mahasiswa dan pertukaran. Akibatnya, Harvard tidak lagi berwenang menerima mahasiswa internasional atau mensponsori visa F dan J untuk mahasiswa dan akademisi internasional.
Visa F-1 diperuntukkan bagi warga negara asing yang ingin berkuliah di AS, sementara Visa J-1 ditujukan bagi peserta program pertukaran pendidikan dan budaya.
Alasan utama di balik tindakan keras ini adalah tuduhan pemerintah Trump bahwa Harvard "mendorong kekerasan, antisemitisme, dan bekerja sama dengan Partai Komunis Tiongkok."
Mengapa Harvard Menjadi Target?
Harvard memiliki populasi mahasiswa internasional yang signifikan, dengan 6.800 mahasiswa pada tahun ajaran 2024-2025. Pada tahun 2022, mahasiswa asal China merupakan kelompok mahasiswa asing terbesar di Harvard, diikuti oleh mahasiswa dari Kanada, India, Korea Selatan, Inggris, Jerman, Australia, Singapura, dan Jepang.
Trump sering mengkritik universitas-universitas elit yang dianggap dikendalikan oleh kelompok yang ia sebut "para maniak dan orang gila Marxis." Pemerintahannya juga menuding sekolah-sekolah elite di AS sebagai sarang antisemitisme, terutama terkait dengan gerakan protes terhadap agresi Israel di Gaza.
Namun, akar permusuhan ini lebih dalam daripada sekadar isu-isu terkini. Hal ini mencerminkan sentimen yang lebih luas terhadap institusi pendidikan tinggi di AS.