Selasa, 27 Mei 2025 – Kehidupan pengemudi ojek online (ojol) semakin terhimpit. Kisah Rizal, Reza, dan Iqbal adalah cerminan dari kondisi yang dialami banyak pekerja platform saat ini. Pendapatan menurun drastis, potongan aplikasi semakin besar, sementara biaya hidup terus meningkat.
Rizal, seorang pengemudi ojol, setiap hari berjuang mencari nafkah sejak pukul 05.30 pagi. Namun, orderan semakin sepi. Bahkan fitur berbayar yang seharusnya meningkatkan orderan, tak memberikan hasil. Rizal merasa sistem aplikasi kini memprioritaskan mitra yang membayar lebih. Pendapatannya anjlok dari Rp 1,3 juta – Rp 1,5 juta per minggu menjadi hanya Rp 500 ribu – Rp 800 ribu. Dengan pengeluaran harian sekitar Rp 50 ribu untuk bensin dan makan, Rizal harus berhemat demi keluarga. Ia bekerja lebih dari 12 jam sehari, namun orderan tetap tak menentu. Potongan aplikasi pun semakin besar, mencapai 27% untuk pengantaran paket.
Reza, seorang kurir paket dan makanan, merasakan hal serupa. Tarif pengantaran menurun di tengah inflasi yang meningkat. Jarak 1-4 kilometer yang dulu dihargai Rp 9.600, kini hanya Rp 8.000 untuk makanan dan Rp 6.400 untuk pengantaran dari hub. Beban kerja juga bertambah dengan layanan antar cepat yang mengharuskan Reza membawa empat paket sekaligus. Sistem poin membuat Reza sulit menolak orderan. Untuk mendapatkan Rp 200 ribu – Rp 250 ribu per hari, ia harus bekerja minimal 12 jam. Dengan kondisi ini, Reza kesulitan mencapai penghasilan bulanan Rp 3 juta.
Iqbal, seorang mantan jurnalis yang beralih menjadi pengemudi ojol setelah di-PHK, juga merasakan kesulitan yang sama. Pendapatannya jauh berbeda dibandingkan saat ojol hanya menjadi pekerjaan sampingan. Dulu bisa mendapatkan Rp 200 ribu – Rp 300 ribu per hari, kini Rp 100 ribu saja sulit. Tarif dasar yang murah, potongan aplikasi yang besar, membuat penghasilan Iqbal tak menentu.
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, mengatakan bahwa pekerja platform semakin tertindas. Potongan aplikasi yang tidak transparan memperburuk keadaan. Waktu kerja yang tidak layak, 12-16 jam sehari tanpa hari libur, semakin membebani para pengemudi.
Pakar hukum ketenagakerjaan dan perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, menilai sistem kerja ojol saat ini sangat dekat dengan eksploitatif. Potongan pendapatan yang besar dan skema langganan program yang merugikan, membuat pekerjaan gig jauh dari kata layak.
Nabiyla menekankan pentingnya regulasi yang adil dan berpihak pada pekerja. Tanpa aturan yang jelas, hubungan kemitraan hanya akan menjadi eksploitasi, dengan beban berat di pundak pengemudi dan keuntungan di tangan aplikator. Regulasi harus dibuat oleh negara, bukan oleh perusahaan, agar tidak hanya menguntungkan platform. Selama ini, regulasi yang ada belum cukup menjawab persoalan.
Para pengemudi ojol berharap pemerintah turun tangan lebih serius mengawasi aplikator dan memberikan jaminan sosial yang layak. Keadilan dan kesejahteraan menjadi harapan utama bagi para pekerja platform di tengah himpitan ekonomi digital.