Rencana kelistrikan nasional terbaru, RUPTL 2025-2034, menuai kritik karena masih mengandalkan energi fosil. Meskipun mengklaim energi terbarukan mendominasi hingga 76%, dengan tambahan kapasitas pembangkit hijau mencapai 42,6 GW (61%) dan penyimpanan listrik (storage) 10,3 GW (15%), RUPTL ini juga memasukkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebesar 500 MW. Yang menjadi sorotan utama adalah rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sebesar 6,3 GW dan gas 10,3 GW, yang setara dengan 24% dari total tambahan kapasitas pembangkit.
Kondisi ini dianggap sebagai kemunduran dari komitmen Indonesia untuk transisi energi, terutama mengingat visi presiden untuk mengakhiri penggunaan pembangkit fosil pada tahun 2040. Keberadaan pembangkit fosil dalam RUPTL menimbulkan ketidakpastian bagi investor, lembaga keuangan, dan pihak swasta yang ingin berinvestasi dalam energi terbarukan. Dengan komposisi RUPTL seperti ini, target Indonesia untuk lepas dari ketergantungan pada pembangkit energi fosil di tahun 2040 dinilai sulit tercapai.
Pentingnya revisi RUPTL ditekankan dalam rangka industrialisasi hijau. Pengembangan industri energi terbarukan seharusnya menjadi pendorong utama bagi industri manufaktur Indonesia. Fokus pada pengembangan rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Kebijakan yang konsisten, termasuk RUPTL yang tidak lagi memasukkan pembangkit berbahan bakar fosil baru, adalah kunci utama.
RUPTL 2025-2034 dianggap lebih mengakomodasi kepentingan energi fosil, baik batu bara maupun gas. Langkah ini akan menghambat iklim investasi energi terbarukan di Indonesia. Investor akan kebingungan karena pemerintah dinilai tidak memiliki rencana ambisius dalam transisi energi. Hal ini menciptakan ketidakpastian investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal.
RUPTL baru ini berisiko menjadi penghambat bagi penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah didesak untuk segera merevisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil.
Investasi pada pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), misalnya, akan diikuti oleh investasi infrastruktur gas yang besar, seperti pembangunan pipa dan terminal gas alam cair (LNG), serta kontrak pasokan gas jangka panjang dan subsidi pemerintah.
Penambahan PLTU di tengah dominasinya yang sudah mencapai 70% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik juga dinilai tidak tepat. Jika PLTU terus ditambah, daerah-daerah yang ekonominya bergantung pada batu bara akan semakin kesulitan membangun ekonomi alternatif.
Penambahan PLTU dalam RUPTL dianggap seperti menambah masalah. RUPTL seharusnya mengurangi ketergantungan pada batu bara, bukan justru memberi ruang baru. Ketergantungan struktural dan ekonomi pada energi fosil akan semakin sulit diakhiri. Ini menciptakan insentif untuk mempertahankan operasi fosil lebih lama dari yang seharusnya, sehingga mengulangi masalah ketergantungan pada ekosistem PLTU yang sudah terlanjur dibangun.