Era Baru Internet: Satelit Menjangkau Daerah Terpencil

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, jutaan penduduk di pedesaan Indonesia, Amerika Serikat, dan belahan dunia lain masih berjuang dengan keterbatasan akses internet. Koneksi yang lambat atau bahkan tidak ada sama sekali menghambat pendidikan, layanan kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, kini hadir solusi yang dulu dianggap fiksi ilmiah: koneksi internet dari luar angkasa.

Beberapa negara bagian di Amerika Serikat mulai memberikan subsidi untuk layanan internet berbasis satelit sebagai solusi mengatasi keterbatasan infrastruktur kabel dan menara darat yang mahal dan sulit dibangun di daerah terpencil. Langkah ini menghidupkan harapan baru dan membuka peluang bagi perusahaan seperti Starlink (milik Elon Musk) dan Project Kuiper (Amazon) yang tengah berlomba membangun konstelasi satelit rendah orbit untuk menyediakan internet berkecepatan tinggi ke seluruh dunia.

Tantangan konektivitas telah lama dirasakan di banyak komunitas pedesaan. Di negara bagian seperti Texas, Alabama, dan Alaska, biaya membangun infrastruktur broadband berbasis kabel bisa mencapai puluhan ribu dolar per rumah tangga karena jarak yang berjauhan dan medan yang sulit. Teknologi satelit generasi baru menawarkan keunggulan dengan tidak memerlukan jaringan fisik yang ekstensif, cukup dengan parabola kecil dan langit terbuka.

Sejak 2023, setidaknya sepuluh negara bagian telah mengalokasikan dana publik untuk membiayai langganan layanan internet satelit melalui program subsidi yang menjangkau ribuan rumah tangga. Contohnya, pemerintah Kentucky mengalokasikan lebih dari $100 juta untuk program konektivitas pedesaan, termasuk bantuan pembiayaan bagi pelanggan Starlink. Texas juga mempertimbangkan pendekatan campuran yang mencakup koneksi kabel dan satelit.

Pandemi Covid-19 memperjelas kesenjangan digital antara wilayah urban dan rural, terutama saat anak-anak harus belajar dari rumah dan layanan medis beralih ke telehealth. Di banyak desa, siswa harus mencari Wi-Fi di luar restoran cepat saji, sementara lansia kesulitan mengakses layanan kesehatan daring. Keterasingan digital ini bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga tentang akses ke hak dasar.

Starlink menjadi pemain utama dalam era baru konektivitas ini. Dengan ribuan satelit kecil yang mengorbit rendah di sekitar Bumi, Starlink mampu memberikan latensi rendah dan kecepatan yang memadai bahkan di daerah yang sangat terpencil. Rata-rata kecepatan unduh pengguna Starlink di AS mencapai 67 Mbps pada awal 2024, cukup untuk mendukung panggilan video, streaming, dan aktivitas daring lainnya.

Harga masih menjadi tantangan utama. Biaya awal perangkat keras Starlink mencapai sekitar $599, dengan langganan bulanan sebesar $120. Subsidi pemerintah menjadi sangat penting untuk memungkinkan keluarga berpenghasilan rendah mengakses layanan ini. Beberapa negara bagian, seperti New Mexico, menawarkan paket subsidi yang mencakup penggantian biaya pemasangan dan diskon langganan selama satu tahun pertama.

Amazon juga tidak ketinggalan. Project Kuiper berencana meluncurkan lebih dari 3.000 satelit dalam beberapa tahun ke depan dan telah menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun fasilitas produksi dan pengujian. Amazon menargetkan wilayah underserved sebagai pasar utama dan akan melibatkan mitra lokal dalam distribusi perangkat keras.

Selain Starlink dan Kuiper, ada juga penyedia internet satelit generasi sebelumnya seperti HughesNet dan Viasat. Namun, mereka menghadapi tantangan dalam hal kecepatan dan latensi karena menggunakan satelit geostasioner yang berada jauh lebih tinggi dari permukaan Bumi, menyebabkan penundaan data yang signifikan.

Meski demikian, tidak semua pihak menyambut baik pendekatan satelit ini. Beberapa organisasi advokasi khawatir bahwa subsidi pemerintah seharusnya lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur tetap yang memberikan konektivitas jangka panjang dan andal, seperti jaringan fiber optik.

Namun, pejabat lokal di wilayah terpencil merasa bahwa menunggu kabel fiber adalah harapan yang tidak akan pernah terwujud. Bagi wilayah dengan populasi di bawah 500 orang, tidak ada perusahaan penyedia kabel yang bersedia membangun infrastruktur tanpa subsidi miliaran dolar.

Konektivitas dari satelit juga dianggap sebagai bagian dari kedaulatan digital dan ketahanan nasional. Konstelasi satelit dapat menjadi benteng komunikasi di tengah bencana alam atau konflik militer. Di Ukraina, layanan Starlink telah menjadi tulang punggung komunikasi pasukan dan warga sipil sejak invasi Rusia.

Selain Amerika Serikat, tren serupa mulai terlihat di negara lain seperti Kanada, Australia, dan bahkan Uni Eropa, yang mengembangkan proyek konstelasi satelit IRIS² sebagai alternatif terhadap ketergantungan pada layanan asing.

Beberapa komunitas lokal menyambut langkah ini dengan harapan yang realistis, tidak mengharapkan kecepatan setara dengan fiber di kota besar, tetapi cukup untuk membuka akses ke dunia digital. Dampaknya pun mulai terasa dalam aspek ekonomi lokal, seperti petani yang menggunakan sistem irigasi berbasis sensor dan pebisnis rumahan yang menjual produk mereka secara daring.

Konstelasi satelit membutuhkan peluncuran terus-menerus untuk menjaga jangkauan dan keandalan. Masalah teknis seperti cuaca buruk dan gangguan sinyal tetap menjadi tantangan. Selain itu, meningkatnya jumlah satelit menimbulkan kekhawatiran akan polusi orbit dan risiko tabrakan di luar angkasa.

Namun, revolusi konektivitas dari langit menunjukkan bahwa solusi bagi kesenjangan digital tidak harus selalu datang dari bawah tanah. Teknologi satelit menjadi jalan pintas menuju inklusi digital.

Langkah negara-negara bagian AS yang memilih langit sebagai jawaban atas kesenjangan internet pedesaan adalah strategi realistis di tengah keterbatasan fiskal dan geografis. Dengan terus berkembangnya teknologi, semakin banyak komunitas yang bisa berharap bahwa koneksi yang layak bukan lagi kemewahan, melainkan hak dasar.

Di masa depan, kita mungkin akan melihat dunia di mana konektivitas tidak lagi tergantung pada kode pos, di mana bintang-bintang bukan lagi sekadar titik cahaya di malam hari, melainkan jembatan digital yang menghubungkan desa dan kota, masa lalu dan masa depan.

Scroll to Top