QRIS dan Kedaulatan Finansial Indonesia: Mengapa Kita Harus Mandiri?

Pertarungan sengit di dunia sistem pembayaran digital sedang berlangsung. Pemerintah Amerika Serikat (AS), melalui USTR, baru-baru ini melayangkan protes terhadap kebijakan Indonesia terkait QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional). Mereka menganggap kedua sistem ini sebagai penghalang perdagangan yang tidak adil bagi perusahaan-perusahaan AS, seperti Visa dan Mastercard.

Namun, di balik protes ini, tersimpan agenda geopolitik dan ekonomi yang jauh lebih besar. Bukan hanya tentang aliran uang ke luar negeri, tetapi juga tentang siapa yang memegang kendali atas arus keuangan, data, dan kedaulatan finansial suatu negara.

QRIS dan GPN bukan sekadar alternatif pembayaran, melainkan solusi strategis yang lebih efisien, terjangkau, dan berdaulat bagi Indonesia. Lalu, mengapa Indonesia tidak perlu lagi bergantung pada Visa dan Mastercard?

Ada tiga alasan utama mengapa Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri:

  1. Potensi Kehilangan Devisa: Selama ini, miliaran dolar telah mengalir ke luar negeri. Sebelum ada GPN (2017) dan QRIS (2019), setiap transaksi kartu debit/kredit di Indonesia harus melalui jaringan Visa atau Mastercard, tanpa memandang apakah transaksi tersebut merupakan pembelian sederhana di warung kecil dan dilakukan antar-rekening domestik. Biaya transaksi sebesar 1% hingga 3% mengalir ke perusahaan AS. Bayangkan skala nasionalnya, mulai dari pembelian makanan hingga barang-barang secara daring. Jumlah dana yang mengalir ke luar negeri melalui transaksi Visa dan Mastercard mencapai miliaran dolar per tahun.

  2. Soal Biaya: Biaya yang dikenakan oleh Visa dan Mastercard lebih tinggi dibandingkan GPN dan QRIS, yang hanya mengenakan biaya 0,3% – 0,7%, bahkan gratis untuk UMKM. Settlement GPN dan QRIS juga lebih cepat dan data diproses di dalam negeri. Hal ini mengurangi kebocoran data dan pengawasan asing. Bukan hanya soal uang, tetapi juga soal data transaksi, seperti pola belanja, lokasi, dan preferensi konsumen yang berpotensi dikirim ke luar negeri jika menggunakan Visa atau Mastercard. Hal ini jelas mengancam kedaulatan negara. QRIS juga dinilai lebih inklusif, karena dapat digunakan oleh semua kalangan, mulai dari pedagang kecil hingga pedagang besar, bahkan untuk kegiatan amal.

  3. Diplomasi Ekonomi dan Ancaman AS: AS khawatir kehilangan pasar strategis. Apalagi, ASEAN sedang membangun jaringan pembayaran regional. Transaksi QRIS melonjak signifikan. Sebaliknya, dominasi Visa/Master mengalami penurunan. QRIS sudah terhubung dengan sistem pembayaran di negara tetangga.

Kritik AS terhadap QRIS dan GPN merupakan bentuk tekanan ekonomi. Tuduhan tidak transparan terhadap Bank Indonesia (BI) hanyalah alasan yang dibuat-buat agar Visa/Master tetap bisa menikmati keuntungan di Indonesia. Sudah saatnya sistem pembayaran melalui GPN dan QRIS terus diperkuat dengan ekspansi QRIS lintas negara.

Mari kita jaga kedaulatan sistem pembayaran Indonesia. BI harus tetap independen dan tidak tergoda untuk menjadi pemain. Pemerintah yang bernegosiasi dengan AS jangan menyerah dalam hal ini. Jika AS bisa melindungi kepentingan ekonominya, mengapa kita tidak boleh mempertahankan kedaulatan pembayaran kita sendiri? Pemerintah jangan lemah dalam menghadapi isu ini.

Scroll to Top