Madinah – Pemerintah Arab Saudi meniadakan visa furoda, membuat banyak calon jemaah haji Indonesia kecewa karena sudah membayar biaya yang tidak sedikit.
Menanggapi situasi ini, anggota Tim Pengawas Haji DPR RI menekankan pentingnya penyelesaian yang adil antara jemaah dan pihak travel haji. Menurutnya, karena visa furoda merupakan urusan bisnis antar pihak, maka kegagalan penerbitan visa harus diselesaikan dengan baik.
Solusi yang ditawarkan bisa berupa pengembalian dana atau pengalihan keberangkatan ke musim haji berikutnya. Yang terpenting, hak-hak jemaah harus dilindungi dan tidak ada pihak yang dirugikan. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI menegaskan bahwa keadilan bagi jemaah harus menjadi prioritas utama.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa visa furoda belum memiliki landasan hukum yang kuat dalam regulasi haji nasional. Ketiadaan dasar hukum ini membuat pemerintah terkesan absen dalam menangani masalah terkait furoda.
Untuk mengatasi hal ini, DPR RI mengusulkan pengaturan tiga jenis visa dalam revisi Undang-Undang Haji, yaitu visa kuota negara, visa non-kuota, termasuk visa mujamalah dan furoda. Tujuannya adalah untuk memberikan pengakuan hukum dan perlindungan yang jelas bagi jemaah pemegang visa non-kuota, sehingga kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
DPR RI terus mendorong agar pemerintah hadir dan memberikan perlindungan hukum bagi jemaah haji non-kuota. Selama ini, relasi yang ada adalah antara pemerintah Arab Saudi dengan perusahaan travel, dan antara jemaah dengan travel di Indonesia. Dengan adanya landasan hukum yang kuat, diharapkan pemerintah dapat lebih berperan dalam melindungi kepentingan jemaah haji furoda.