Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mengintai jutaan pekerja di sektor tekstil Indonesia. Kondisi ini dipicu oleh lesunya penjualan produk tekstil dalam negeri dan penurunan permintaan ekspor yang semakin memperburuk keadaan.
Menurut pernyataan dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), pasar domestik dibanjiri oleh produk tekstil impor ilegal dengan harga yang sangat kompetitif. Hal ini menyebabkan hasil produksi pabrik-pabrik tekstil lokal sulit bersaing dan tidak terserap pasar. Pasar-pasar tradisional seperti Tanah Abang dan Cirebon, yang seharusnya menjadi tulang punggung penjualan produk lokal, kini didominasi oleh barang-barang impor ilegal.
Investigasi mengungkap bahwa banyak pedagang memperoleh produk ilegal ini melalui pasar gelap dengan harga miring. Akibatnya, sejumlah pabrik tekstil terpaksa gulung tikar karena tidak mampu bertahan dalam persaingan yang tidak sehat ini.
KSPN meyakini bahwa pemerintah menyadari praktik impor ilegal yang merajalela ini. Namun, tindakan penegakan hukum yang efektif belum terlihat. Satuan tugas pemberantasan impor yang pernah digaungkan, kini tidak terdengar lagi kabarnya. Tindakan yang dilakukan selama ini dianggap hanya menyasar barang sitaan yang dipublikasikan, belum menyentuh aktor-aktor besar di balik praktik ilegal tersebut. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah belum sepenuhnya serius dalam memberantas impor ilegal.
Data menunjukkan sekitar tiga juta pekerja menggantungkan hidupnya pada sektor tekstil. Jumlah ini merupakan potensi angka PHK jika impor ilegal terus dibiarkan merajalela.
Dari sudut pandang pengusaha garmen, membeli barang impor ilegal yang lebih murah menjadi solusi untuk menjual produk dengan harga yang lebih bersaing. Dengan begitu, mereka dapat bertahan di tengah gempuran produk impor yang membanjiri pasar domestik. Jika tidak, keberlangsungan bisnis mereka terancam.