Gaza – Harapan baru muncul dalam upaya mengakhiri konflik di Gaza. Hamas dikabarkan telah menyetujui kerangka perjanjian gencatan senjata yang dirancang oleh utusan AS, Steve Witkoff. Persetujuan ini datang setelah Hamas mengajukan amandemen yang menekankan jaminan bahwa kesepakatan tersebut akan membuka jalan bagi perundingan permanen untuk mengakhiri agresi Israel di Gaza.
Menurut laporan, kerangka 13 poin ini memuat sejumlah persyaratan yang disetujui Hamas dengan beberapa ketentuan. Salah satunya adalah gencatan senjata selama 60 hari, dengan usulan Presiden AS sebagai penjamin kepatuhan Israel.
Sebagai bagian dari kesepakatan, Hamas bersedia membebaskan 10 tawanan Israel yang masih hidup serta jenazah 18 lainnya, sebagai imbalan atas pembebasan sejumlah tahanan Palestina yang jumlahnya akan disepakati. Proses pembebasan ini diusulkan dilakukan secara bertahap: empat tawanan hidup dibebaskan di hari pertama, dua di hari ke-30, dan empat sisanya di hari ke-60. Sisa-sisa jenazah tawanan Israel juga akan dikembalikan secara bertahap.
Hamas juga menuntut agar pasukan Israel mundur ke posisi yang mereka tempati sebelum tanggal 2 Maret 2025.
Namun, muncul kritik terhadap Witkoff karena draf awal yang dianggap kurang jelas dan minim jaminan yang kuat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perundingan yang rapuh ini dapat gagal.
Selama perundingan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dikabarkan menuntut pembebasan seluruh tawanan yang masih hidup dan jenazah pada minggu pertama, syarat yang ditolak oleh negosiator Palestina karena kekhawatiran Israel akan segera melanjutkan operasi militernya.
Sementara Hamas menuntut penarikan militer Israel ke posisi sebelum 2 Maret, terdapat ketidakjelasan mengenai lokasi pasti pasukan Israel akan ditempatkan kembali. Selain itu, kurangnya transparansi mengenai mekanisme bantuan kemanusiaan yang diusulkan juga menjadi perhatian.
Hamas juga menyerukan tindakan kemanusiaan dan rekonstruksi yang mendesak, termasuk akses langsung ke bantuan melalui PBB dan organisasi seperti Bulan Sabit Merah, sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani pada 19 Januari 2025. Rencana akhir untuk membangun kembali rumah, fasilitas umum, dan infrastruktur penting juga menjadi tuntutan, serta pemulihan penuh fasilitas dasar seperti listrik, air, dan komunikasi.
Usulan Hamas mencakup "penghentian permusuhan selama lima hingga tujuh tahun" yang dijamin oleh AS, Mesir, dan Qatar. Negosiasi terus berlanjut dengan harapan mencapai kesepakatan dalam waktu 60 hari.
Meskipun demikian, terdapat laporan yang mengindikasikan bahwa Witkoff dan Netanyahu berupaya menghapus ketentuan yang akan membuat Hamas menyerahkan kendali administratif di Gaza, menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik dapat berlanjut setelah periode 60 hari.