Pandemi Belum Usai: Saatnya Mengasah Kembali Empati dan Kesadaran

Kasus Covid-19 kembali meningkat, sebuah déjà vu yang menghantui. Virus ini, meski dengan gejala yang lebih ringan, tetap memberikan dampak yang signifikan. Lebih dari sekadar masalah kesehatan, pandemi ini mencerminkan kerapuhan kesadaran kolektif kita sebagai masyarakat.

Sempat terlena dengan narasi "new normal," kita melonggarkan protokol kesehatan dan menganggap vaksin sebagai pelindung yang cukup. Padahal, pandemi telah merenggut rasa kebersamaan, empati, dan kepedulian sosial.

Data menunjukkan peningkatan kasus ringan dan sedang akibat mutasi subvarian terbaru Omicron. Rumah sakit kembali bersiaga, masker mulai langka, dan berita duka kembali menghantui. Namun, publik tampaknya kebal terhadap peringatan.

Hoaks tentang vaksin dan teori konspirasi masih terus beredar, menunjukkan bahwa tantangan kita bukan hanya soal menyediakan vaksin, tetapi juga menghidupkan kembali kepercayaan dan kesadaran kritis masyarakat.

Pandemi ini adalah guru yang keras, menampar kesombongan manusia dengan pelajaran tentang kerentanan. Kita masih bersikap seolah pandemi telah usai, padahal ia hanya mereda, bukan musnah.

Saat tenaga kesehatan kembali berjaga, masyarakat malah abai. Saat rumah sakit mulai penuh, kita kembali sibuk menyalahkan pemerintah. Egoisme, disinformasi, dan apatisme adalah musuh terbesar kita.

Masker adalah simbol empati sosial, vaksin adalah perwujudan tanggung jawab terhadap orang lain. Namun, semua itu seolah telah menguap. Kesadaran kita runtuh lebih cepat daripada dinding rumah sakit yang kembali dibuka.

Pandemi ini bukan hanya ujian medis, tetapi ujian moral bangsa. Di tengah masyarakat yang terpolarisasi, pandemi membongkar siapa yang sungguh-sungguh peduli.

Kita tidak bisa hanya berharap pada negara. Negara pun bertumpu pada kesadaran rakyatnya. Jika dulu kita semangat menggaungkan tagar #dirumahaja, kini saatnya kita menyerukan #sadarbersama. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menyadarkan.

Jika kita lengah, sejarah hanya akan mengulang dirinya dengan harga yang lebih mahal. Pandemi memang akan berlalu, tetapi apakah kita akan tetap sama? Ataukah kita akan menjadi bangsa yang belajar dari luka dan tumbuh dari krisis? Yang sakit bukan hanya tubuh, tapi juga nurani. Dan yang perlu disembuhkan bukan hanya paru-paru, tapi juga empati.

Scroll to Top