Gibran di Ujung Tanduk: Usulan Pemakzulan dan Dilema Prabowo

Usulan Forum Purnawirawan Prajurit (FPP) TNI untuk memakzulkan Gibran Rakabuming Raka dari kursi wakil presiden telah memicu badai politik. Wacana ini tak terlepas dari kontroversi seputar pencalonan Gibran pada Pilpres 2024 lalu.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batas usia minimal capres-cawapres membuka jalan bagi Gibran. Namun, keputusan ini dibayangi konflik kepentingan karena Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah ipar Jokowi sekaligus paman Gibran. Meski Anwar Usman telah dicopot karena pelanggaran etik berat, dampak politiknya terus bergema.

Secara konstitusional, pemberhentian wakil presiden diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Prosesnya dimulai dari usul DPR ke MK untuk memeriksa dugaan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela. Jika MK menyatakan terbukti, MPR dapat memberhentikan yang bersangkutan. Proses ini bukan sekadar manuver politik, melainkan proses hukum konstitusional yang memerlukan pembuktian ketat.

Salah satu isu yang mencuat adalah dugaan keterlibatan Gibran dalam akun media sosial anonim "Fufufafa" yang diduga menyebarkan hinaan terhadap Prabowo Subianto. Meski belum terbukti secara hukum, isu ini memicu kegaduhan politik dan menjadi amunisi bagi para pengkritik.

Usulan pemakzulan Gibran ini muncul dalam delapan pernyataan sikap FPP TNI yang ditandatangani oleh ratusan jenderal, laksamana, marsekal, dan kolonel. Tokoh-tokoh purnawirawan terkemuka seperti mantan Wakil Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, mantan KSAD Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan mantan Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno turut menandatangani pernyataan tersebut.

Pernyataan sikap ini menempatkan Presiden Prabowo dalam dilema besar. Di satu sisi, Gibran adalah pasangannya dalam Pilpres 2024. Di sisi lain, kedekatan personal dan politik antara Prabowo dengan Jokowi tidak bisa diabaikan. Prabowo bahkan secara terbuka mengakui bahwa dirinya bisa menjadi presiden karena dukungan Jokowi.

Namun, usulan pemberhentian Gibran dari para senior TNI tidak bisa diabaikan. Apalagi, suara mereka disampaikan atas dasar idealisme konstitusional dan moral. Prabowo sendiri dikenal sangat menghormati para seniornya.

Upaya memberhentikan Gibran berpotensi menciptakan turbulensi politik dalam hubungan antara Prabowo, Gibran, dan Jokowi. Hal ini juga berpotensi mencederai persepsi publik yang menginginkan kesinambungan dan stabilitas.

Namun, mempertahankan Gibran juga bukan tanpa risiko. Kritik terhadap praktik politik dinasti masih kuat di kalangan masyarakat sipil. Dugaan keterlibatan Jokowi yang terlalu dominan juga berpotensi memunculkan persepsi bahwa Prabowo tidak memiliki kendali penuh atas kekuasaannya.

Prabowo perlu mengambil langkah politik strategis. Pemisahan secara simbolik dari bayang-bayang Jokowi, melalui pemberhentian Gibran, dapat dimaknai sebagai langkah afirmatif menuju kemandirian kepemimpinan Prabowo.

Namun demikian, langkah ekstrem seperti pelengseran Gibran berisiko membuka preseden yang berbahaya. Jika keputusan MK dijadikan dasar untuk mendelegitimasi hasil Pemilu 2024, kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan demokrasi bisa terguncang.

Kendati demikian, jika ada alasan yang kuat dan sesuai dengan konstitusi, pemberhentian wakil presiden tetap dimungkinkan secara legal. Dugaan keterlibatan Gibran dalam akun Fufufafa mungkin saja dapat menjadi pintu masuk menuju proses pergantian wakil presiden, namun harus dibuktikan melalui proses hukum yang adil.

Pernyataan Presiden Prabowo yang disampaikan melalui Penasihat Khusus menunjukkan sikap kehati-hatian yang tinggi. Ia menegaskan bahwa aspirasi FPP TNI sangat dihargai, namun masih diperlukan kajian mendalam.

Tuntutan pemberhentian Gibran memang menjadi titik paling sensitif. Jika diakomodasi, stabilitas politik dan hubungan antara Prabowo dan Jokowi bisa terguncang. Jika diabaikan, akan muncul kesan bahwa aspirasi moral dan etika konstitusional dari para senior militer dikesampingkan.

Kesimpulannya, wacana pemberhentian Gibran menyentuh langsung pada integritas hukum, stabilitas politik nasional, dan masa depan demokrasi. Presiden Prabowo harus mampu menimbang antara loyalitas politik, tekanan moral, serta kepentingan nasional yang lebih luas, untuk menghasilkan keputusan yang benar-benar adil dan konstitusional.

Scroll to Top