Ekonomi Indonesia di Awal Juni 2025: Sinyal Bahaya Mengintai

Awal Juni 2025 membawa serangkaian kabar kurang sedap yang mengindikasikan kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kontraksi manufaktur, deflasi, dan penurunan surplus neraca perdagangan menjadi sorotan utama, berdampak pada penyaluran kredit perbankan.

Manufaktur Kembali Menyusut

Sektor manufaktur Indonesia kembali mengalami kontraksi. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) dari S&P Global menunjukkan angka 47,4 pada Mei 2025, menandakan aktivitas bisnis sedang lesu. Penurunan pesanan baru menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.

Deflasi Mengkhawatirkan

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025. Inflasi tahunan tercatat 1,60% (yoy). Angka ini lebih rendah dari ekspektasi pasar.

Surplus Neraca Dagang Menyusut

Surplus neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 hanya mencapai US$ 150 juta, menjadi yang terendah dalam 60 bulan terakhir. Ekspor mengalami penurunan lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan impor.

Dampak pada Kredit Perbankan

Kondisi ekonomi yang kurang menggembirakan ini berdampak pada penyaluran kredit perbankan. Pertumbuhan kredit hingga April 2025 hanya mencapai 8,88%, terendah sejak Juli 2023. Permintaan kredit menurun akibat daya beli masyarakat yang tertekan suku bunga tinggi, serta likuiditas bank yang mengetat.

Pandangan DPR

Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menilai bahwa inflasi yang rendah namun suku bunga yang tinggi menyebabkan likuiditas menjadi ketat. Likuiditas yang terbatas ini kemudian mengalir ke Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), sehingga sektor riil mengalami kesulitan.

Kinerja Bank BUMN

Bank-bank BUMN juga merasakan dampak dari kondisi ekonomi ini. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengalami pertumbuhan kredit hanya 4,2% (yoy) hingga April 2025. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan perlambatan penyaluran kredit menjadi 8% (yoy). PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) masih mencatatkan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi, yaitu 15% (yoy), namun juga mengalami tren penurunan.

Kontraksi manufaktur, deflasi bulanan, dan surplus neraca dagang yang menyusut menjadi sinyal bahwa ekonomi Indonesia membutuhkan perhatian lebih. Risiko perlambatan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini perlu diantisipasi, dengan fokus pada pemulihan daya beli masyarakat dan mendorong ekspansi bisnis.

Scroll to Top