Jakarta – Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025. Ini merupakan deflasi ketiga yang terjadi tahun ini, setelah sebelumnya tercatat pada Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%). Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi.
Para ekonom menilai deflasi ini sebagai sinyal kurang baik. Mereka memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 berpotensi tidak mencapai 5%. Deflasi berkepanjangan mengindikasikan bahwa masyarakat cenderung menahan konsumsi, yang dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Ini bukan sekadar keberhasilan pengendalian inflasi, melainkan indikasi bahwa permintaan agregat tidak mengalami peningkatan signifikan. Daya beli masyarakat rendah meskipun jumlah penduduk besar.
Minimnya penciptaan lapangan kerja menjadi salah satu akar masalah. Banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) menyebabkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan tidak meningkat. Masyarakat cenderung menggunakan tabungan untuk kebutuhan sehari-hari dan menunda pembelian barang-barang yang tidak mendesak.
Pemerintah perlu bertindak cepat untuk mengatasi deflasi ini, terutama untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah-langkah strategis diperlukan untuk mengurangi dampak dari dinamika ekonomi global. Diversifikasi negara tujuan ekspor dan negosiasi tarif menjadi penting untuk mengurangi tekanan terhadap ekonomi domestik.
Paket stimulus yang ada perlu dievaluasi dan diperluas. Meskipun cukup membantu masyarakat kelas bawah, stimulus tambahan dibutuhkan untuk kelas menengah. Fokus stimulus sebaiknya diarahkan pada proyek infrastruktur padat karya dan sektor industri, mengingat sektor ini memiliki potensi besar dalam menyerap tenaga kerja.