Kasus Korupsi Kredit Sritex: Kejagung Periksa Saksi, Kerugian Negara Triliunan Rupiah

Kejaksaan Agung terus mendalami kasus dugaan korupsi dalam pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) dan anak perusahaannya. Tim Jaksa Penyidik telah memeriksa sejumlah saksi terkait kasus ini.

Kasus ini melibatkan pemberian kredit dari beberapa bank, termasuk Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJBB), Bank DKI Jakarta, dan Bank Jateng kepada Sritex. Tiga tersangka telah ditetapkan, yaitu Iwan Setiawan Lukminto (ISL) selaku Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk periode 2005-2022, DS selaku pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial BJBB tahun 2020, dan ZM selaku Direktur Utama Bank DKI Jakarta tahun 2020. Ketiganya kini ditahan di Rutan Salemba.

Saksi-saksi yang diperiksa meliputi berbagai posisi, mulai dari kepala sub divisi perbankan komersial hingga direktur perusahaan. Mereka diperiksa untuk memperdalam penyidikan terkait dugaan korupsi dalam pemberian kredit kepada Sritex dan anak usahanya atas nama tersangka ISL dan pihak terkait lainnya.

Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, total outstanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga Oktober 2024 mencapai Rp3,58 triliun. Rinciannya adalah sebagai berikut:

  • Bank Jateng: Rp395,66 miliar
  • Bank BJB: Rp543,98 miliar
  • Bank DKI: Rp149,78 juta
  • Bank Sindikasi (BNI, BRI, LPEI): Rp2,5 triliun

Selain itu, Sritex juga menerima kredit dari 20 bank swasta. Kasus ini diduga melibatkan tindakan melawan hukum dalam pemberian kredit, menyebabkan kerugian keuangan negara.

Laporan keuangan Sritex menunjukkan adanya kejanggalan. Pada tahun 2021, perusahaan melaporkan kerugian sebesar US$1,008 miliar (Rp15,65 triliun), padahal pada tahun 2020 masih mencatat keuntungan Rp1,24 triliun.

Dalam pemberian kredit, ZM selaku Direktur Utama Bank DKI dan DS selaku pimpinan divisi korporasi BJBB diduga melakukan tindakan melawan hukum karena tidak melakukan analisis yang memadai dan tidak mematuhi prosedur serta persyaratan yang ditetapkan. Lembaga pemeringkat Moody’s bahkan memberikan predikat BB- kepada Sritex, yang menunjukkan risiko gagal bayar yang lebih tinggi. Kredit tanpa jaminan seharusnya hanya diberikan kepada perusahaan dengan peringkat A.

Dana kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja, diduga disalahgunakan untuk membayar hutang dan membeli aset non-produktif. Akibatnya, kredit macet dan aset perusahaan tidak dapat dieksekusi untuk menutupi kerugian negara. Nilai aset lebih kecil dari nilai pinjaman kredit dan tidak dijadikan jaminan atau agunan.

Scroll to Top