Gaza kini menjadi medan pertempuran tak hanya militer, namun juga perebutan akses bantuan kemanusiaan. Di tengah laporan korban sipil akibat konflik yang meningkat, sebuah organisasi bernama Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) muncul sebagai pemain baru yang kontroversial dalam penyaluran bantuan.
Akhir pekan lalu, petugas medis di Gaza selatan menerima laporan tentang korban massal dengan luka tembak dan pecahan peluru di dekat pusat distribusi bantuan di Rafah. Kementerian Kesehatan Gaza dan kantor media pemerintah Palestina melaporkan puluhan warga sipil tewas dan ratusan lainnya terluka. Sementara itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim tidak menembaki warga sipil dan menyebarkan video yang menunjukkan orang bersenjata menembaki warga sipil di dekat Khan Younis.
GHF, yang didukung oleh pemerintah Israel dan AS, menjadi sorotan karena rencananya untuk memasok bantuan ke Gaza. Program ini menuai kritik karena menggunakan kontraktor keamanan dari AS dan bertujuan untuk memotong peran PBB sebagai pemasok utama bantuan.
Bagaimana GHF beroperasi? Warga Palestina harus mengumpulkan bantuan di lokasi distribusi yang "diamankan" oleh kontraktor Amerika. Untuk masuk, mereka harus menjalani pemeriksaan identitas dan penyaringan biometrik dan pengenalan wajah. Tujuannya adalah mencegah "orang-orang yang berafiliasi dengan Hamas" masuk.
PBB dan banyak kelompok bantuan kemanusiaan menolak bekerja sama dengan GHF, menilai cara kerja mereka bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan berpotensi "mempersenjatai bantuan". Mereka memperingatkan bahwa sistem ini akan mengecualikan kelompok rentan seperti warga sipil yang terluka, cacat, dan lansia. Cara kerja GHF disebut memaksa pengungsian lebih lanjut, dan membuat bantuan bersyarat pada tujuan politik dan militer.
Jan Egeland dari Dewan Pengungsi Norwegia menyebut GHF sebagai "militerisasi, privatisasi, dan politisasi" bantuan, yang dimana pihak berkonflik tidak boleh memutuskan siapa yang akan mendapatkan bantuan. Hamas juga memperingatkan warga Palestina agar tidak mengikuti sistem GHF, yang dianggap mereka sebagai cara untuk "menegakkan kebijakan rekayasa kelaparan warga sipil Palestina, dan menggunakan makanan sebagai senjata selama masa perang".
Di tengah kontroversi, Jake Wood, pimpinan GHF, mengundurkan diri karena merasa tidak nyaman dengan rencana yang didukung Israel tersebut. Wood menekankan bahwa "tidak mungkin melaksanakan rencana GHF sambil secara ketat mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan, kenetralan, imparsialitas, dan independensi".
Israel memberlakukan blokade total terhadap bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak Maret lalu, yang memperburuk situasi. Setengah juta warga Gaza diyakini akan menghadapi kelaparan dalam beberapa bulan mendatang. Walaupun ada bantuan yang masuk, PBB menyebutnya hanya "setetes air dalam ember".
Situasi kemanusiaan di Gaza tetap memprihatinkan, dan peran GHF dalam menyalurkan bantuan terus menjadi perdebatan. Pertanyaan kunci tetap: bisakah bantuan kemanusiaan disalurkan tanpa melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dan tanpa memihak kepentingan politik atau militer tertentu?