Aktivitas Manufaktur Asia Tertekan: Indonesia dan China dalam Zona Kontraksi

Aktivitas sektor manufaktur di berbagai negara Asia menunjukkan tren yang kurang menggembirakan. Data terbaru Purchasing Managers’ Index (PMI) periode Mei 2024 mengindikasikan bahwa sebagian besar negara masih bergulat dengan kontraksi.

Di antara negara-negara Asia yang terpantau, hanya India (57,6) dan Filipina (50,1) yang mencatatkan PMI manufaktur di atas ambang batas 50, menandakan adanya ekspansi. Sebaliknya, negara-negara seperti Vietnam (49,8), Singapura (49,7), dan Jepang (49,4) masih terperosok dalam zona kontraksi.

Indonesia pun mengalami hal serupa. Selama dua bulan berturut-turut, PMI manufaktur Indonesia berada di bawah 50, yaitu 46,7 pada April dan 47,4 pada Mei.

Penyebab utama penurunan aktivitas manufaktur ini adalah permintaan pasar yang lemah dan berkurangnya pesanan barang. Permintaan dari luar negeri, terutama ekspor ke Amerika Serikat, juga mengalami penurunan meskipun tidak separah bulan sebelumnya.

Kondisi permintaan yang lesu ini berdampak pada penurunan produksi selama dua bulan berturut-turut. Walaupun laju penurunannya lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya, penurunan ini tetap menjadi perhatian.

"Sektor manufaktur Indonesia mengalami kontraksi akibat penurunan tajam pesanan baru yang turut menekan volume produksi. Ekspor juga terus melemah, sementara pelaku usaha menyesuaikan pembelian dan persediaan sebagai respons terhadap lemahnya permintaan," ungkap seorang ekonom dari lembaga riset pasar terkemuka.

Selain Indonesia, China juga mengalami kontraksi. PMI manufaktur China turun dari 50,4 pada April menjadi 48,3 pada Mei.

Kontraksi PMI manufaktur China ini perlu diwaspadai karena China adalah mitra dagang utama Indonesia. Melemahnya aktivitas manufaktur di China berpotensi mengurangi permintaan terhadap barang-barang ekspor Indonesia seperti batu bara, minyak sawit, dan produk manufaktur lainnya. Hal ini berpotensi menekan pendapatan ekspor dan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Perlambatan manufaktur China seringkali dikaitkan dengan ketidakpastian ekonomi global, termasuk dampak dari perang dagang dan kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Ketegangan perdagangan ini dapat memperburuk kondisi ekspor Indonesia karena banyak perusahaan yang menunda pesanan akibat ketidakpastian pasar.

Dari sisi investasi, melemahnya sektor manufaktur China bisa mengurangi arus modal ke Indonesia karena investor cenderung lebih berhati-hati dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi. Jika tren ini berlanjut, sektor manufaktur Indonesia juga bisa mengalami tekanan lebih besar, terutama karena rantai pasok global yang terhubung dengan China mengalami gangguan.

Scroll to Top