Sejumlah gerai ritel modern di Indonesia mengalami kebangkrutan atau pengambilalihan dalam beberapa waktu terakhir. Menteri Perdagangan mengungkap tiga faktor utama penyebab fenomena ini.
Pertama, banyak ritel modern yang hanya fokus pada penjualan produk kebutuhan sehari-hari. Model bisnis ini dinilai kurang menarik bagi konsumen modern yang mencari lebih dari sekadar transaksi jual beli. Ritel yang tidak menawarkan pengalaman atau petualangan berbelanja yang unik akan kalah bersaing dengan UMKM yang lebih adaptif.
Kedua, perubahan pola belanja masyarakat. Masyarakat kini cenderung berbelanja lebih sering dengan jumlah yang lebih sedikit. Kebutuhan yang sifatnya mendesak membuat konsumen lebih memilih ritel terdekat, sehingga ritel besar yang lokasinya kurang strategis menjadi kurang diminati.
Ketiga, mal dan department store terancam gulung tikar jika tidak mampu memenuhi kebutuhan hiburan konsumen. Konsumen modern mencari tempat yang tidak hanya untuk berbelanja, tetapi juga untuk bersosialisasi, makan, dan bersantai. Ritel dan mal yang gagal beradaptasi dengan tren ini akan kehilangan pengunjung.
Sebagai catatan, beberapa ritel besar seperti Alfamart bahkan menutup ratusan gerainya di tahun 2024, meski di saat bersamaan juga melakukan ekspansi. Sementara itu, penutupan GS Supermarket terjadi karena proses pengambilalihan oleh perusahaan ritel lain, yang menandakan perubahan lanskap persaingan di industri ritel modern Indonesia.