Kontroversi Berlanjut: Trump Kembali Aktifkan Larangan Perjalanan Kontroversial

Presiden AS, Donald Trump, kembali memicu perdebatan dengan menghidupkan kembali kebijakan larangan perjalanan yang pernah diterapkan selama masa jabatan pertamanya. Proklamasi yang ditandatangani pada hari Rabu waktu setempat itu, melarang masuknya individu dari 12 negara.

Daftar negara yang terdampak meliputi Afghanistan, Chad, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Myanmar, Somalia, Sudan, dan Yaman. Selain itu, pembatasan dan pengetatan diberlakukan untuk warga dari tujuh negara lainnya, yaitu Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.

Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 9 Juni 2025, pukul 12:01 waktu AS. Daftar ini merupakan tindak lanjut dari perintah eksekutif yang dikeluarkan Trump pada 20 Januari, yang memerintahkan Departemen Luar Negeri, Keamanan Dalam Negeri, dan Direktur Intelijen Nasional untuk menyusun laporan mengenai potensi "sikap bermusuhan" terhadap AS, serta risiko keamanan nasional yang mungkin ditimbulkan oleh masuknya orang dari negara-negara tertentu.

"Saya harus bertindak untuk melindungi keamanan nasional dan kepentingan nasional Amerika Serikat dan rakyatnya," ujar Trump dalam pernyataannya. Gedung Putih menambahkan, kebijakan ini bertujuan untuk "melindungi orang Amerika dari aktor asing yang berbahaya."

Selama masa jabatan sebelumnya, Trump mengeluarkan perintah eksekutif serupa pada Januari 2017, yang melarang masuk warga dari tujuh negara mayoritas Muslim, termasuk Irak, Suriah, Iran, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman. Akibatnya, pelancong dari negara-negara tersebut dilarang naik pesawat ke AS atau ditahan di bandara AS setelah mendarat, termasuk pelajar, staf pengajar, pebisnis, turis, serta mereka yang mengunjungi teman dan keluarga.

Larangan tersebut juga mempengaruhi turis dan imigran dari Korea Utara, serta beberapa pejabat pemerintah Venezuela beserta keluarga mereka. Trump dan pemerintahannya membela larangan sebelumnya, mengklaim bahwa kebijakan ini demi keamanan nasional, bertujuan untuk melindungi negara, dan tidak didasarkan pada bias anti-Muslim.

Scroll to Top