Jakarta – Gelombang penutupan gerai ritel modern di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir memunculkan pertanyaan besar. Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso akhirnya angkat bicara, mengungkap tiga faktor utama yang menyebabkan banyak ritel modern kesulitan bertahan.
Pertama, ritel modern terlalu fokus pada penjualan barang kebutuhan pokok semata. Menurut Budi, ritel yang hanya menawarkan transaksi jual beli, tanpa memberikan pengalaman berbelanja yang menarik, akan kalah bersaing dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang lebih dekat dengan konsumen. Ritel modern perlu berinovasi menawarkan pengalaman yang lebih dari sekadar berbelanja.
Kedua, perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja turut menjadi penyebab. Dulu, masyarakat terbiasa berbelanja bulanan dalam jumlah besar. Kini, trennya bergeser ke belanja mingguan atau bahkan harian dengan volume yang lebih sedikit. Akibatnya, konsumen cenderung memilih ritel yang lokasinya paling dekat dan mudah dijangkau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketiga, mal atau pusat perbelanjaan juga terancam gulung tikar jika gagal memenuhi kebutuhan hiburan dan interaksi sosial konsumen. Budi menekankan bahwa pengusaha ritel dan pemilik mal harus mampu membaca perubahan pola belanja dan aktivitas masyarakat. Keberadaan tempat makan, area nongkrong, dan ruang untuk berkumpul menjadi daya tarik penting yang dapat menarik pengunjung.
Sebagai catatan, beberapa ritel besar seperti Alfamart bahkan telah menutup ratusan gerainya pada tahun 2024. Meskipun demikian, Alfamart juga terus melakukan ekspansi dan menambah jumlah gerai baru. Sementara itu, penutupan GS Supermarket disebabkan oleh proses pengambilalihan (take over) oleh perusahaan ritel lain, yang berarti gerai tersebut akan tetap beroperasi dengan merek yang berbeda.