Harga batu bara menunjukkan tren positif, naik menjadi US$107,8 per ton pada Kamis, 4 Juni 2025. Kenaikan ini didorong oleh sentimen positif dari konferensi batu bara kokas di Singapura, yang menyoroti peningkatan permintaan dari dua raksasa industri baja dunia, China dan India.
Kedua negara tersebut mengalami pertumbuhan pesat di sektor baja, yang meningkatkan kebutuhan akan batu bara kokas. India bahkan disebut mengalami "cerita besar soal batu bara kokas" karena pembangunan banyak tanur tiup untuk memproduksi baja berkualitas tinggi. Proyeksi menunjukkan bahwa produksi baja global yang terus meningkat akan membutuhkan lebih dari 100 juta metrik ton kapasitas batu bara kokas keras baru per tahun hingga 2050.
Namun, pasokan batu bara kokas global menghadapi tantangan. Ekspor dari Australia dan Amerika Serikat diperkirakan melambat pada tahun 2025, memicu India untuk mencari diversifikasi sumber pasokan guna mendukung ekspansi industri mereka. Meskipun Mongolia sempat menjajaki kemungkinan menjadi pemasok ke India, kendala logistik yang signifikan membuat opsi ini tidak layak.
Di sisi lain, Indonesia merilis peta jalan energi 2025-2034 yang menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 60 gigawatt (GW). Sebagian besar diharapkan berasal dari energi terbarukan, namun rencana tersebut juga mencakup penambahan 6 GW dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Hal ini memicu kekhawatiran mengenai komitmen Indonesia terhadap transisi energi bersih.
Meskipun pembangunan pembangkit batu bara baru telah dilarang sejak 2022, pengecualian diberikan untuk proyek yang sudah direncanakan dan sektor strategis seperti pengolahan nikel. Ini menunjukkan bahwa batu bara masih memainkan peran penting dalam strategi energi nasional, terutama untuk mendukung industri-industri kunci.
Para ahli menekankan bahwa untuk mencapai target net-zero emisi pada 2050, Indonesia perlu melakukan reformasi kebijakan yang signifikan dan meningkatkan investasi dalam infrastruktur energi terbarukan. Saat ini, energi terbarukan baru menyumbang sekitar 13% dari total bauran energi nasional, jauh dari target 23% pada 2025. Subsidi bahan bakar fosil, regulasi yang kurang mendukung investasi swasta, dan ketergantungan pada batu bara menjadi kendala utama.
Secara keseluruhan, meskipun Indonesia menunjukkan niat untuk beralih ke energi hijau, implementasi rencana tersebut masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara dan menarik investasi untuk energi terbarukan.