Kerajaan Maroko, yang mayoritas penduduknya Muslim, menghadapi situasi unik pada Iduladha tahun ini. Pemerintah memberlakukan larangan kurban, sebuah keputusan yang diambil untuk melindungi populasi ternak yang kritis akibat kekeringan berkepanjangan. Bagaimana umat Islam di Maroko merayakan hari raya besar ini di tengah pembatasan tersebut?
Keputusan kerajaan ini, meskipun jarang terjadi, bukan tanpa sejarah. Sebelumnya, mendiang Raja Hassan II pernah melakukan penangguhan serupa karena alasan perang, kekeringan, dan kebijakan penghematan.
Larangan ini berdampak signifikan, terutama bagi para peternak kecil yang bergantung pada penjualan hewan kurban sebagai sumber pendapatan utama. Hilangnya pasar ternak mingguan dan kios-kios musiman menjelang Iduladha telah memukul ekonomi lokal, mempengaruhi para pengrajin dan pekerja informal yang menggantungkan hidup pada perputaran ekonomi saat Iduladha.
Pemerintah telah meluncurkan program bantuan senilai miliaran dirham untuk meringankan beban para peternak, termasuk subsidi pakan ternak dan keringanan utang. Namun, ada kekhawatiran bahwa bantuan ini akan lebih banyak dinikmati oleh pemilik ternak besar.
Meskipun tanpa kurban tradisional, semangat Iduladha tetap hidup di Maroko. Banyak keluarga beralih ke daging, unggas, dan makanan laut yang dibeli dari supermarket untuk menyiapkan hidangan Iduladha mereka. Permintaan unggas meningkat pesat, mendorong kenaikan harga. Pemerintah juga meningkatkan impor daging untuk menstabilkan pasokan, meskipun daging impor cenderung lebih mahal dan menimbulkan kekhawatiran tentang sertifikasi halal.
Beberapa warga Maroko, seperti di masa lalu, mungkin secara diam-diam melakukan kurban, sementara yang lain melihat larangan ini sebagai kesempatan untuk menghidupkan kembali tradisi budaya lama, seperti festival rakyat Boujloud atau Bilmawen. Perayaan ini, yang berakar pada ritual pra-Islam Amazigh, melibatkan penampil yang mengenakan kulit domba atau kambing, menari dan memberkati penonton, merayakan kesuburan dan perubahan musim.
Boujloud, dengan kostum yang semakin mewah dan modern, menjadi alternatif yang menarik untuk merayakan Iduladha, menekankan semangat Amazigh yang kuat dalam merayakan tanah dan masyarakat.
Meskipun hidangan tradisional "boulfaf" (hati domba panggang) mungkin absen, umat Muslim Maroko tetap berkumpul untuk menikmati musik Ahidous dan semangat Boujloud yang meriah, membuktikan bahwa Iduladha dapat dirayakan dengan cara yang berbeda, namun tetap bermakna.