Madleen Kulab: Dari Nelayan Gaza Hingga Inspirasi Kapal Kemanusiaan

Di balik nama kapal yang berupaya menerobos blokade Gaza, tersembunyi kisah Madleen Kulab, satu-satunya perempuan nelayan di wilayah tersebut. Kisahnya, yang semula tenang bersama suami dan keempat anaknya di Kota Gaza, berubah drastis setelah agresi Israel dimulai.

Sebelum perang, Madleen, 30 tahun, dikenal berani melaut sejauh yang diizinkan kapal perang Israel. Hasil tangkapannya ia jual di pasar lokal untuk menghidupi keluarga. Namun, kehidupan damai itu sirna ketika ayahnya menjadi korban serangan udara Israel pada November 2023.

Keluarga Madleen terpaksa mengungsi dari Khan Younis, Rafah, Deir el-Balah, hingga Nuseirat, sebelum akhirnya kembali ke reruntuhan rumah mereka di Kota Gaza. Rumah itu kini hanya menyisakan puing-puing setelah ditinggalkan akibat perang.

Saat diwawancarai di ruang tamu rumahnya yang hancur, Madleen menggendong bayi bungsunya, Waseela, sementara dua anaknya yang lain, Safinaz dan Jamal, duduk di dekatnya. Ia mengungkapkan rasa harunya saat mengetahui ada kapal yang dinamai menurut namanya.

"Saya merasa sangat tersentuh, merasakan tanggung jawab besar dan sedikit kebanggaan," ungkap Madleen. Ia berterima kasih kepada para aktivis yang berani mengambil risiko untuk membela Gaza.

Suaminya, Khader, menunjukkan foto Madleen yang mengibarkan bendera Palestina. Madleen telah menjadi nelayan sejak usia 15 tahun, familiar dengan laut dan dikenal oleh nelayan lain serta aktivis solidaritas internasional. Selain menangkap ikan, Madleen juga mahir memasak hidangan ikan musiman yang digemari banyak orang.

Namun, kini Madleen tak bisa lagi melaut. Kapal-kapal mereka hancur akibat serangan Israel, bersama dengan peralatan nelayan mereka. "Kami kehilangan segalanya, hasil dari seumur hidup," tuturnya.

Kehilangan ini bukan hanya soal materi, tetapi juga identitas dan kedekatan Madleen dengan laut. Bahkan, kesenangan sederhana menyantap ikan pun kini menjadi barang mewah. "Sekarang ikan terlalu mahal jika pun bisa ditemukan. Hanya sedikit nelayan yang masih berani melaut, mempertaruhkan nyawa mereka hanya untuk menangkap sedikit," keluhnya.

Setelah serangan udara di dekat rumah mereka, keluarga Madleen mengungsi ke Khan Younis, mengikuti instruksi tentara Israel. Mereka berlindung di apartemen kecil bersama 40 pengungsi lain. Saat persalinan tiba, Madleen harus melahirkan tanpa penghilang rasa sakit dan perawatan medis yang memadai.

"Itu adalah kelahiran yang sulit dan brutal. Saya terpaksa meninggalkan rumah sakit tepat setelah melahirkan. Tidak ada tempat tidur yang tersedia karena banyaknya korban luka," jelasnya. Ia harus tidur di lantai tanpa kasur atau selimut bersama bayinya yang baru lahir.

Perang ini mengubah pemahaman Madleen tentang penderitaan. Kondisi sulit yang pernah ia alami di tahun 2022, kini terasa jauh lebih ringan dibandingkan dengan kelaparan dan kengerian yang ia saksikan selama perang.

Sepanjang perang, Madleen tetap menjalin komunikasi dengan teman-teman internasional dan aktivis solidaritas yang ia kenal selama bertahun-tahun. Mereka memberikan dukungan emosional dan finansial, membuat Madleen merasa bahwa Gaza tidak dilupakan.

Ia bersyukur namanya diabadikan sebagai nama kapal, meskipun khawatir kapal tersebut tidak akan diizinkan mencapai Gaza oleh otoritas Israel. "Mencegat kapal itu akan menjadi hal yang paling tidak penting. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan serangan langsung," ujarnya.

Apapun yang terjadi, Madleen yakin pesan dari misi tersebut telah tersampaikan. "Ini adalah seruan untuk memecah kesunyian global, untuk menarik perhatian dunia terhadap apa yang terjadi di Gaza. Blokade harus diakhiri, dan perang ini harus segera dihentikan," tegasnya. "Ini juga merupakan pesan harapan bagi saya. Mereka mungkin telah mengebom kapal saya, tetapi nama saya akan tetap ada dan akan berlayar melintasi lautan."

Scroll to Top