Procter & Gamble (P&G), perusahaan barang konsumen terkemuka, berencana mereduksi jumlah tenaga kerjanya sebagai bagian dari strategi efisiensi perusahaan dalam dua tahun ke depan.
Perusahaan yang berbasis di Ohio, AS ini menargetkan pengurangan sekitar 7.000 posisi, yang setara dengan 15% dari total karyawan di divisi non-manufaktur.
Keputusan berat ini diambil sebagai respons terhadap dampak kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan pemerintahan Donald Trump terhadap mitra dagang Amerika Serikat.
P&G berpendapat, tarif yang lebih tinggi telah memicu kenaikan harga untuk mengkompensasi biaya produksi yang membengkak. Ketegangan perdagangan ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang kondisi ekonomi dan pasar kerja AS secara umum.
Menurut Kepala Keuangan P&G, Andre Schulten, program restrukturisasi ini sangat penting untuk memastikan daya tahan perusahaan dalam dua hingga tiga tahun mendatang.
Meskipun demikian, Schulten mengakui bahwa langkah ini tidak menghilangkan tantangan jangka pendek yang sedang dihadapi perusahaan.
P&G, yang mempekerjakan sekitar 108.000 orang, mengalami perlambatan pertumbuhan penjualan di pasar terbesarnya, yaitu Amerika Serikat. Pada kuartal ketiga tahun fiskal berjalan, penjualan organik di AS hanya tumbuh sebesar 1%.
Perusahaan juga memperkirakan penurunan laba per saham sebesar 3 hingga 4 sen pada kuartal keempat tahun fiskal. Untuk tahun fiskal 2026, P&G memproyeksikan beban keuangan akibat tarif sebesar US$ 600 juta sebelum pajak.
Selain itu, P&G mengantisipasi biaya non-inti sebesar US$ 1 miliar hingga US$ 1,6 miliar sebelum pajak akibat restrukturisasi rantai pasokan dan perampingan organisasi.
P&G mengikuti jejak perusahaan besar AS lainnya, seperti Microsoft dan Starbucks, yang juga melakukan PHK besar-besaran tahun ini, seiring dengan implementasi tarif Trump.
Setelah pengumuman PHK ini, saham P&G mengalami penurunan lebih dari 1%. Secara keseluruhan, saham perusahaan telah turun 2% sepanjang tahun ini. P&G memiliki kapitalisasi pasar sebesar US$ 407 miliar.