Kisah memilukan seorang ibu hamil bernama Elisabeth Weber asal Carolina Selatan, Amerika Serikat, kembali mencuri perhatian publik. Ia terpaksa melanjutkan kehamilan meskipun janin di dalam kandungannya sudah tidak memiliki detak jantung.
Elisabeth mengetahui bahwa janinnya berhenti berkembang saat usia kehamilan memasuki minggu ke-9. Lebih tragisnya, pertumbuhan bayi tersebut sudah berhenti sejak usia 6 minggu 1 hari. Bersama suaminya, Thomas, Elisabeth sangat menantikan kehadiran putra kelima mereka yang diberi nama Lorenzo Thomas Weber, atau akrab disapa Enzo. Sebelumnya, Elisabeth telah memiliki tiga anak perempuan dan seorang putra bernama Stone yang meninggal dunia akibat SIDS (Sindrom Kematian Bayi Mendadak) pada tahun 2018.
Namun, kenyataan pahit harus diterima Elisabeth. Ia ditolak mendapatkan bantuan medis karena undang-undang anti aborsi yang ketat di negara bagian tersebut. Elisabeth harus menunggu berminggu-minggu untuk mendapatkan penanganan medis, padahal ia tidak mengalami keguguran secara alami.
Elisabeth dipulangkan dan diminta menunggu keguguran alami. Padahal, ia menderita hiperemesis gravidarum (HG), penyakit yang menyebabkan mual dan muntah parah selama kehamilan. Elisabeth merasakan semua gejala kehamilan meskipun detak jantung Enzo sudah tidak ada.
"Tubuh saya seolah tidak menyadari bahwa saya sudah tidak hamil lagi. Saya masih mual dan muntah terus-menerus. Janin tidak tumbuh dan tidak ada detak jantung. Saat itu, usia kehamilan saya hampir 10 minggu," ungkap Elisabeth.
Elisabeth kemudian meminta prosedur dilatasi dan kuretase (D&C), yaitu prosedur medis untuk mengangkat jaringan dari dalam rahim. Namun, karena terikat oleh undang-undang "detak jantung" di negara tersebut, Elisabeth harus menunggu sekitar dua minggu untuk melihat apakah ia akan mengalami keguguran secara alami.
Undang-undang yang dimaksud adalah larangan aborsi di Carolina Selatan setelah usia kehamilan 6 minggu, saat detak jantung janin biasanya mulai terdeteksi. Inilah alasan mengapa hukum ini disebut sebagai "heartbeat bill" atau undang-undang detak jantung.
"Bayi saya tidak memiliki detak jantung, namun hal itu tetap menghalangi saya untuk mendapatkan perawatan," keluh ibu tiga anak ini.
Lebih menyedihkan lagi, Elisabeth sempat ditanya apakah kehamilannya benar-benar diinginkan atau tidak. Ia merasa pertanyaan itu seolah menyiratkan bahwa dia mencoba menggugurkan kandungannya secara diam-diam. Padahal, Elisabeth dan suaminya sangat menginginkan kehadiran Enzo.
"Bayi saya sudah meninggal. Setiap dokter yang saya temui tahu bayi saya sudah meninggal. Bayi saya tidak akan tiba-tiba memiliki detak jantung lagi," tegas Elisabeth.
Elisabeth diberitahu bahwa ia hanya boleh kembali ke rumah sakit jika mengalami pendarahan hebat atau infeksi. Jika tidak, tidak ada yang bisa dilakukan oleh pihak medis sebelum batas waktu dua minggu itu tercapai.
Dalam kesedihannya, Elisabeth mengungkapkan kekecewaannya karena ditolak menjalani prosedur D&C, meskipun janin di dalam kandungannya sudah tidak berkembang dan jantungnya sudah berhenti berdetak.
"Bayi saya sudah berada di dalam tubuh saya dalam keadaan meninggal selama tiga minggu dan sekarang saya harus menunggu seminggu lagi dengan mengetahui bahwa bayi saya sudah meninggal, sebelum bisa melakukan apa pun," ucap Elisabeth.
"Saya tidak percaya saya dipaksa untuk membawa bayi saya yang sudah meninggal. Mereka tahu bayinya sudah tiada, mereka tahu ia telah berhenti berkembang, dan sekarang saya dipaksa untuk tetap mengandungnya. Tidak ada perasaan yang bisa dibandingkan dengan saat rahimmu menjadi kuburan," imbuhnya.
Setelah mengunggah video TikTok-nya, seorang advokat pasien menghubungi Elisabeth dan menyarankan agar ia pergi ke rumah sakit lain. Di sana, ia mengetahui bahwa jumlah sel darah putihnya sangat tinggi, menandakan bahwa ia mengalami infeksi aktif.
Namun, setelah berjam-jam berada di rumah sakit tersebut, Elisabeth tetap diberi tahu bahwa ia tidak memenuhi kriteria untuk menjalani prosedur D&C.
Inilah kisah pilu Elisabeth Weber yang dipaksa mengandung janin yang sudah tidak bernyawa, akibat undang-undang aborsi yang ketat.