Standar Baru Bank Dunia: Angka Kemiskinan Indonesia Melonjak Signifikan!

Perhitungan standar garis kemiskinan dan ketimpangan oleh Bank Dunia akan mengalami perubahan mulai Juni 2025. Dampaknya? Angka kemiskinan di Indonesia diperkirakan akan mengalami lonjakan yang cukup besar.

Perubahan ini dipicu oleh peralihan metode perhitungan dari purchasing power parities (PPP) 2017 ke PPP 2021, yang telah diumumkan pada Mei 2024 oleh International Comparison Program. Adopsi PPP 2021 membawa konsekuensi pada perubahan tiga garis kemiskinan global dari standar PPP 2017 sebelumnya.

PPP sendiri berfungsi untuk membandingkan harga barang dan jasa yang identik di berbagai negara setelah disesuaikan dengan daya beli. Dollar AS yang digunakan dalam PPP bukanlah nilai tukar mata uang yang berlaku saat ini, melainkan paritas daya beli.

Perubahan garis kemiskinan mencakup:

  • Garis kemiskinan ekstrem internasional: naik dari 2,15 dollar AS menjadi 3 dollar AS per orang per hari.
  • Negara berpendapatan menengah bawah: naik dari 3,65 dollar AS menjadi 4,20 dollar AS per orang per hari.
  • Negara berpendapatan menengah atas: naik dari 6,85 dollar AS menjadi 8,30 dollar AS per orang per hari.

Perubahan ini berimplikasi pada peningkatan jumlah penduduk miskin secara global. Di kawasan Asia Timur dan Pasifik, misalnya, jumlah penduduk miskin yang sebelumnya tercatat 20,3 juta orang (1 persen) dengan PPP 2017, melonjak menjadi 54 juta orang (2,5 persen) dengan PPP 2021. Secara global, angka kemiskinan naik dari 134 juta orang (27,3 persen) menjadi 838 juta orang (10,5 persen).

Bank Dunia menjelaskan bahwa revisi PPP mencerminkan data terbaru mengenai garis kemiskinan nasional, yang mengarah pada revisi ke atas yang lebih besar daripada sekadar perubahan harga.

Bagaimana Dampaknya Bagi Indonesia?

Dengan pendapatan nasional bruto (GNI) sebesar 4.810 dollar AS pada 2023, Indonesia termasuk dalam kategori negara berpendapatan menengah atas menurut Bank Dunia. Artinya, standar penghitungan kemiskinan Indonesia akan mengikuti standar negara-negara tersebut, yaitu 8,30 dollar AS per orang per hari.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan tahun 2024 adalah 285,1 juta jiwa. Dengan standar PPP 2021, jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan mencapai 68,25 persen dari total populasi atau sekitar 194,67 juta jiwa. Angka ini lebih tinggi dibandingkan perhitungan dengan PPP 2017 yang menunjukkan 60,25 persen atau 171,74 juta jiwa penduduk miskin.

Perbedaan ini memperlebar kesenjangan antara data kemiskinan Bank Dunia dan BPS. Data resmi BPS menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) dalam mengukur kemiskinan, bukan PPP seperti Bank Dunia.

BPS menghitung garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan, yang diperoleh dari data Susenas mengenai pengeluaran dan pola konsumsi masyarakat. BPS mengklaim metode ini mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia.

Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan. Dengan rata-rata 4,71 anggota per rumah tangga miskin, garis kemiskinan untuk satu rumah tangga adalah Rp 2.803.590 per bulan. Garis kemiskinan ini bervariasi antar provinsi, mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah. Contohnya, garis kemiskinan rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp 4.238.886, sementara di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp 3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp 2.821.375.

Scroll to Top