Jakarta – Upaya negosiasi untuk mengakhiri konflik di Jalur Gaza kembali menemui jalan buntu. Kelompok perlawanan Hamas menolak proposal gencatan senjata yang diajukan oleh Israel.
Alasan utama penolakan ini adalah karena Hamas menilai proposal tersebut tidak memberikan jaminan penghentian perang secara permanen dan penarikan pasukan Israel dari Gaza. Salah satu poin yang secara tegas ditolak adalah permintaan agar Hamas meletakkan senjata, yang dianggap melanggar kesepakatan seluruh faksi.
Proposal Israel menawarkan gencatan senjata selama 45 hari dengan syarat Hamas membebaskan lima sandera Israel yang masih hidup. Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan 66 tahanan warga Palestina. Bantuan kemanusiaan dijanjikan akan masuk pada hari kedua gencatan senjata, dan Israel akan memindahkan pasukannya di Rafah dan Gaza.
Rencana tersebut juga mencakup potensi gencatan senjata permanen dan pertukaran tawanan, serta demiliterisasi Gaza dan rencana pasca-perang. Hamas diminta memberikan informasi lengkap mengenai sandera yang masih hidup pada hari ke-10, dan membebaskan 16 sandera pada hari ke-16, dengan Israel membebaskan 160 tahanan Palestina sebagai gantinya. Negosiasi diharapkan selesai dalam 45 hari, setelah itu semua tawanan yang tersisa harus dibebaskan.
Hamas sebelumnya menyatakan akan mempelajari proposal yang diserahkan melalui mediasi Mesir. Namun, mereka menekankan bahwa kesepakatan apa pun harus mencakup gencatan senjata permanen, penarikan penuh pasukan pendudukan dari Gaza, pertukaran sandera dan tahanan yang komprehensif, dimulainya proses rekonstruksi Gaza, dan pencabutan blokade terhadap rakyat Palestina. Para pemimpin Hamas kemudian menyatakan bahwa proposal Israel melanggar "garis merah" yang mereka tetapkan.