Fenomena gerhana matahari total yang dulunya langka, kini bisa "dihadirkan" kapan saja. Badan Antariksa Eropa (ESA) telah mengembangkan teknologi revolusioner melalui misi Proba-3, yang memungkinkan ilmuwan untuk menciptakan gerhana buatan di luar angkasa.
Inovasi ini membuka jalan bagi studi mendalam tentang korona Matahari—lapisan terluar atmosfer Matahari yang sangat panas dan krusial. Selama ini, pengamatan korona terhambat oleh silau Matahari yang menyilaukan. Padahal, korona merupakan sumber angin Matahari dan lontaran massa korona (CME) yang berpotensi mengganggu satelit, komunikasi, bahkan sistem kelistrikan di Bumi.
Bagaimana Gerhana Buatan Ini Bekerja?
Misi Proba-3 melibatkan dua satelit: Occulter yang berfungsi sebagai perisai untuk menghalangi cahaya Matahari, dan Coronagraph yang bertugas merekam gambar korona. Kedua satelit akan mengorbit Bumi dengan formasi yang sangat presisi, berjarak 150 meter satu sama lain dengan tingkat akurasi milimeter.
Setiap 19 jam 36 menit, saat mencapai titik terjauh dari Bumi (60.527 km) dalam orbit elips mereka, kedua satelit ini menciptakan gerhana buatan yang dapat berlangsung hingga enam jam—jauh lebih lama dari gerhana alami.
"Gerhana buatan ini memungkinkan kita mengamati korona secara berkelanjutan dengan presisi tinggi. Kedua satelit bekerja sebagai satu instrumen optik raksasa sepanjang 150 meter," jelas seorang ahli dari ESA.
Teknologi Canggih di Balik Layar
Untuk mencapai tingkat presisi tersebut, ESA menggabungkan teknologi mutakhir, termasuk navigasi GPS antariksa, kamera optik dengan LED penanda, tautan radio presisi, dan pemantulan laser antar-satelit.
Proba-3 membuktikan konsep penerbangan formasi presisi dan membuka era baru observatorium ruang angkasa. Dengan minimnya gangguan atmosfer dan medan magnet Bumi di orbit, pengamatan korona dapat dilakukan dengan lebih jernih dan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan pengamatan dari Bumi.
Dampak Revolusioner bagi Sains dan Teknologi
Misi Proba-3, yang diluncurkan pada September 2023, diharapkan beroperasi selama dua tahun atau lebih. Keberhasilan misi ini tidak hanya akan membantu memahami iklim antariksa dan mengurangi risiko badai Matahari, tetapi juga membuka peluang besar bagi pengembangan teleskop luar angkasa raksasa dan perbaikan satelit secara real-time di orbit.
Dari Pengalaman Gerhana di Indonesia
Indonesia memiliki kenangan tersendiri tentang gerhana matahari total, terutama peristiwa pada 11 Juni 1983. Saat itu, masyarakat diimbau untuk tetap berada di rumah karena kekhawatiran tentang dampak kesehatan dari menatap gerhana secara langsung.
Kini, dengan teknologi seperti Proba-3, kita tidak lagi hanya menunggu fenomena alam, tetapi mampu menciptakan kondisi langit yang sesuai dengan kebutuhan riset. Ini adalah tonggak penting dalam eksplorasi antariksa.