Ketegangan kembali memanas antara Iran dan Amerika Serikat terkait masa depan kesepakatan nuklir. Iran melontarkan ancaman keras, menyatakan siap menyerang seluruh pangkalan militer AS di Timur Tengah jika konflik meletus akibat kebuntuan perundingan.
Ancaman ini muncul di tengah keraguan yang diungkapkan oleh Presiden AS, Donald Trump, tentang prospek tercapainya kesepakatan nuklir dengan Teheran. Perundingan yang telah berlangsung beberapa putaran sejak April lalu, bertujuan untuk menghidupkan kembali kesepakatan 2015 yang ditinggalkan Trump.
Iran menegaskan bahwa semua pangkalan militer AS berada dalam jangkauan mereka dan akan menjadi target utama jika terjadi konfrontasi. Pernyataan keras ini merupakan respons terhadap sinyal dari AS tentang kemungkinan opsi militer jika diplomasi gagal. Meski demikian, Iran berharap perundingan dapat mencapai hasil positif.
AS sendiri memiliki banyak pangkalan militer di Timur Tengah, salah satu yang terbesar berada di Qatar. Kebuntuan diplomatik saat ini berpusat pada pengayaan uranium oleh Iran, yang dianggap sebagai hak yang tak bisa dinegosiasikan oleh Teheran, sementara AS melihatnya sebagai "garis merah".
Meskipun sebelumnya sempat menyatakan optimisme, Trump kini mengaku "kurang yakin" kesepakatan dapat tercapai. Iran saat ini memperkaya uranium hingga 60%, jauh melebihi batas yang ditetapkan dalam kesepakatan 2015. Untuk membuat senjata nuklir, uranium perlu diperkaya hingga 90%.
Iran bersikeras bahwa program nuklirnya bertujuan damai, meskipun AS, Israel, dan negara-negara Eropa Barat telah lama menuduh Iran berupaya mengembangkan senjata nuklir. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menegaskan bahwa pengayaan uranium adalah "kunci" bagi program nuklir Iran.
Setelah putaran perundingan kelima, Iran menyatakan telah menerima beberapa elemen dari proposal AS, namun mengkritiknya karena mengandung "ambiguitas". Iran berencana mengajukan proposal balasan, terutama terkait tuntutan utama mereka, yaitu pencabutan sanksi yang telah melumpuhkan perekonomian mereka selama bertahun-tahun.
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mengadakan pertemuan untuk membahas aktivitas atom Iran dan isu-isu terkait. Laporan IAEA sebelumnya mengkritik kurangnya kerja sama dari Teheran, terutama dalam menjelaskan kasus-kasus masa lalu tentang bahan nuklir yang ditemukan di lokasi yang tidak dideklarasikan. Iran menanggapi laporan tersebut dengan mengatakan bahwa laporan tersebut tidak berimbang dan mengandalkan "dokumen palsu" yang diberikan oleh Israel.