Jakarta – Ketegangan diplomatik antara Prancis dan Aljazair memuncak setelah Prancis mengumumkan pengusiran 12 diplomat Aljazair dari negaranya. Langkah ini merupakan balasan atas tindakan serupa yang sebelumnya dilakukan Aljazair terhadap 12 pejabat diplomatik Prancis di Aljir.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean Noel-Barrot, menyatakan keputusan ini diambil sebagai respon atas "eskalasi" yang dipilih oleh Aljazair. Meskipun demikian, Prancis tetap membuka diri untuk dialog dan menolak pembicaraan sepihak.
Kepresidenan Prancis turut membenarkan kabar pengusiran ini. Istana Elysee menyatakan bahwa otoritas Aljazair bertanggung jawab atas memburuknya hubungan bilateral. Prancis menegaskan akan melindungi kepentingan nasionalnya dan meminta Aljazair menghormati kewajibannya, terutama terkait keamanan nasional dan kerjasama di bidang migrasi.
Namun, Prancis juga memiliki keinginan untuk memulihkan hubungan dengan Aljazair. Presiden Prancis berharap otoritas Aljazair menunjukkan tanggung jawab dalam kerangka dialog yang konstruktif, yang telah dimulai sejak 31 Maret lalu.
Sebelumnya, Aljazair memerintahkan 12 pejabat Kedutaan Prancis untuk meninggalkan negara itu dalam waktu 48 jam, menyusul pendakwaan oleh pengadilan Prancis terhadap tiga warga Aljazair atas tuduhan terorisme. Salah satu terdakwa diketahui bekerja untuk konsulat Aljazair di Prancis.
Kementerian Luar Negeri Aljazair mengecam penangkapan pejabat konsulernya sebagai "fitnah" dan "pelanggaran nyata terhadap norma-norma diplomatik." Mereka juga menyalahkan Menteri Dalam Negeri Prancis atas pelanggaran kedaulatan Aljazair yang memicu krisis diplomatik ini.
Ketegangan ini semakin diperparah oleh kasus dugaan keterlibatan tiga warga Aljazair dalam penculikan seorang influencer Aljazair, Amir Boukhors, di pinggiran kota Paris pada April 2024. Boukhors dikenal sebagai kritikus pemerintah Aljazair dan memiliki jutaan pengikut di media sosial TikTok.