Remake live-action dari film animasi seringkali dicibir karena dianggap hanya mengejar keuntungan semata. Namun, anggapan ini tampaknya tidak berlaku untuk How to Train Your Dragon (2025), yang berhasil menghidupkan kembali keajaiban film aslinya.
Versi live-action ini sukses mengembalikan sisi magis petualangan Hiccup, seorang pemuda Viking, dan Toothless, naga Night Fury yang ikonik. Pencapaian ini cukup mengejutkan mengingat How to Train Your Dragon menandai debut DreamWorks dalam mengerjakan remake live-action dari katalog animasi mereka.
Awalnya, banyak yang skeptis dengan keputusan ini. Tren mendaur ulang animasi ke live-action belakangan ini lebih sering menuai kritikan daripada pujian. Bahkan, sebagian orang menilai film live-action dari animasi tidak diperlukan, terutama untuk How to Train Your Dragon yang sudah sangat ikonis.
Namun, keraguan itu sirna setelah menyaksikan langsung petualangan Hiccup dan Toothless dalam wujud live-action. Tanpa bermaksud merendahkan medium animasi, remake ini mampu mewujudkan makna live-action secara harfiah: menghadirkan versi animasinya menjadi nyata.
Ada beberapa faktor yang mendukung kesuksesan How to Train Your Dragon versi live-action. Remake ini menerapkan prinsip utama dalam mendaur ulang karya ikonis: setia pada sumber aslinya. Di tengah tren remake yang mencoba mengeksplorasi sumber asli dengan perubahan cerita, casting, atau twist baru, live-action ini memilih untuk tetap setia.
Beberapa adegan penting bahkan menerapkan format shot-for-shot adaptation, dibuat identik dengan versi aslinya. Keputusan ini mungkin dianggap terlalu aman atau membosankan. Namun, mengubah cerita seindah How to Train Your Dragon sama saja dengan menjebak diri sendiri.
Kesetiaan pada ‘resep’ aslinya juga diikuti dengan kehadiran sang ‘juru masak’. Dean DeBlois, sutradara dan penulis HTTYD versi animasi, kembali memikul tanggung jawab yang sama untuk versi live-action. Studio juga memberikan kontrol kreatif penuh kepada DeBlois, yang kemudian mengembangkan HTTYD dari 98 menit (animasi) menjadi 125 menit (live-action).
Penambahan durasi ini dimanfaatkan dengan baik, meskipun tidak terlalu berdampak pada cerita. Tambahan 27 menit itu bagaikan hiasan yang mempercantik hidangan utama How to Train Your Dragon.
Materi cerita yang berkualitas dan sudah teruji di versi animasi dipadukan dengan visual kelas atas serta penampilan apik para pemeran. Dean DeBlois menggandeng Bill Pope sebagai sinematografer. Pope, dengan rekam jejak yang mentereng, mampu mengangkat How to Train Your Dragon ke level yang lebih tinggi.
Ia menyuguhkan Pulau Berk menjadi sangat indah, dengan detail yang ciamik pada kostum Viking, arsitektur desa, hingga tekstur naga yang terlihat nyata. Keahlian Pope semakin terpancar saat adegan Hiccup terbang dengan Toothless. Setiap adegan aksi tersaji dengan sentuhan magis.
Kemegahan ini semakin terasa berkat kehadiran John Powell, komposer yang juga terlibat di How to Train Your Dragon (2010). Powell hanya perlu membawa resep scoring dari medium animasi ke live-action untuk mengulang kesuksesannya.
Namun, perlu dicatat bahwa ada efek CGI yang masih terasa kasar, terutama saat Hiccup (Mason Thames) dan Astrid (Nico Parker) berbincang di atas Toothless yang sedang terbang.
Kinerja hebat di balik layar dibalas dengan apik oleh para pemeran. Mason Thames, sebagai Hiccup, tampil gemilang sebagai jantung cerita. Penampilannya diimbangi oleh Nico Parker sebagai Astrid Hofferson. Gerard Butler, kembali sebagai Stoick the Vast, berhasil menghidupkan karakter kepala suku tersebut di dua medium berbeda. Namun, perhatian justru tertuju pada Nick Frost sebagai Gobber the Belch, yang mampu menghadirkan berbagai peran Gobber: pandai besi Berk, sahabat Stoick, hingga mentor Hiccup.
Lantas, apakah How to Train Your Dragon versi live-action layak ditonton meskipun tidak jauh berbeda dari versi animasi? Bagi penonton yang enggan merusak memori indah terhadap versi animasi, live-action ini mungkin bisa dilewatkan. Namun, bagi mereka yang ingin merasakan kembali petualangan Hiccup dan Toothless dalam format lain yang tetap megah serta disajikan dengan visual imersif, How to Train Your Dragon live-action jelas sanggup memenuhi keinginan itu.