Pemerintah menjadikan industri kelapa sawit sebagai model utama dalam mengembangkan ekosistem hilirisasi teknologi yang menguntungkan masyarakat. Melalui kolaborasi antara Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) dengan Dewan Minyak Sawit Indonesia dan mitra strategis, fokus riset dan inovasi kini diarahkan untuk memberikan dampak positif secara langsung di lapangan.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, menegaskan bahwa kelapa sawit adalah komoditas strategis yang membutuhkan proses hilirisasi yang komprehensif. "Ini akan menjadi proyek percontohan, dan kami akan memastikan pelaksanaannya berjalan sukses," ujarnya dalam sebuah pertemuan lintas sektor.
Brian menekankan pentingnya pengembangan teknologi pengolahan sawit yang ramah lingkungan, serta penerapan model bisnis inklusif berbasis koperasi petani. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada produk akhir, tetapi juga menata ulang rantai pasok dan sistem ekonomi lokal yang selama ini belum tersentuh inovasi teknologi.
Salah satu inovasi yang memasuki tahap komersialisasi adalah teknologi pengolahan sawit tanpa air (dry process) dengan suhu rendah di bawah 80°C. Teknologi ini dikembangkan oleh konsorsium ITB, MIPA UI, PT NCA, dan Agro Investama, dan menghasilkan produk seperti RBMO (Refined Bleached Minimized-Olein) dengan kandungan 3-MCPD yang sangat rendah—memenuhi standar internasional.
Kedepannya, teknologi ini akan diterapkan di perkebunan petani swadaya melalui mini plant hemat energi yang tidak menghasilkan limbah cair. Skema bisnisnya akan diatur dalam bentuk kepemilikan bersama oleh petani melalui koperasi. Dalam jangka waktu tertentu, pengelolaan pabrik akan sepenuhnya diserahkan kepada petani.
Kemdiktisaintek mencatat bahwa sekitar 34,8% dari 6,88 juta hektare kebun sawit rakyat saat ini memerlukan peremajaan untuk meningkatkan produktivitas. Dengan proyek replanting dan pembangunan infrastruktur mini plant di atas 1 juta hektare lahan, pemerintah memperkirakan kebutuhan investasi mencapai Rp171 triliun.
Namun, potensi keuntungannya sangat menjanjikan. Proyek ini ditargetkan mampu meningkatkan pendapatan sektor sawit dari Rp61,5 triliun menjadi Rp142,7 triliun per tahun pada 2029, serta menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 16 juta orang. Selain itu, teknologi rendah emisi ini membuka peluang perdagangan karbon, dengan estimasi nilai USD15 per ton karbon—di mana pasar Tiongkok siap menyerap hingga 30 juta ton.