Dalam dinamika perdagangan global yang terus bergejolak, China memegang aset strategis yang signifikan: logam tanah jarang. Mineral ini, krusial untuk berbagai teknologi modern, dari ponsel pintar hingga kendaraan listrik, kini menjadi senjata potensial dalam menghadapi tekanan perdagangan.
Logam tanah jarang terdiri dari 17 unsur yang lebih melimpah dari emas, tersebar di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Akan tetapi, ekstraksi dan pemrosesannya rumit, mahal, dan berpotensi merusak lingkungan. Selama beberapa dekade, banyak negara, termasuk AS, bergantung pada pasokan logam olahan dari China. Negara ini menguasai 61% produksi penambangan global, dan yang lebih krusial, 92% tahap pemrosesan global menurut Badan Energi Internasional (IEA).
Sebagai respons terhadap tarif "timbal balik" yang diterapkan, pemerintah China memberlakukan pembatasan ekspor pada tujuh jenis mineral tanah jarang. Peraturan baru ini mewajibkan perusahaan untuk memperoleh izin pemerintah guna mengekspor tujuh mineral tersebut beserta produk terkait, seperti magnet. Magnet ini sangat penting dalam berbagai aplikasi teknologi tinggi, termasuk mesin MRI, jet tempur siluman F-35, dan kapal selam serang bertenaga nuklir.
Menanggapi situasi ini, AS tengah berupaya untuk membangun kembali rantai pasokan logam tanah jarang domestik. Beberapa perusahaan Amerika sedang memperluas kapasitas produksi dan mencari sumber bahan baku dari sekutu. Namun, upaya ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memenuhi permintaan industri AS yang besar.
China memulai lebih awal dalam ekstraksi tanah jarang, mulai tahun 1950-an, dan industri ini berkembang pesat pada akhir tahun 1970-an. Kombinasi biaya tenaga kerja yang rendah, standar lingkungan yang relatif longgar, dan penerapan teknologi asing menjadi kunci kesuksesan mereka. Seiring berjalannya waktu, China terus berinvestasi dalam teknologi, riset, dan pengembangan, memperkuat posisinya dalam industri padat modal ini.
Pada tahun 1992, Deng Xiaoping menyatakan bahwa "Meskipun ada minyak di Timur Tengah, China memiliki tanah jarang." Visi ini terwujud, dengan China mendominasi seluruh rantai pasokan material tersebut.
Antara tahun 2020 dan 2023, AS mengandalkan China untuk 70% impor senyawa dan logam tanah jarang. Ketergantungan ini menjadi perhatian utama bagi keamanan nasional dan ketahanan ekonomi Amerika. Sementara AS berusaha untuk mengejar ketertinggalan, China terus memegang kartu truf yang signifikan dalam dinamika perdagangan global.