Polemik Kuota Internet Hangus: Antara Legalitas Operator dan Hak Konsumen

Isu kuota internet prabayar yang hangus masih menjadi perdebatan sengit. Sorotan tajam datang dari berbagai pihak, mempertanyakan keadilan praktik ini bagi konsumen.

Awal mula polemik ini dipicu oleh temuan yang menyebutkan kerugian konsumen mencapai ratusan triliun rupiah akibat kuota yang tidak terpakai dan kemudian dihilangkan oleh operator. Kuota internet dipandang sebagai aset digital yang dibeli, bukan disewa, sehingga penghangusan kuota dinilai melanggar hak konsumen.

Pihak operator telekomunikasi berdalih bahwa praktik penghangusan kuota setelah masa aktif berakhir adalah legal dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Mereka mengacu pada peraturan yang membolehkan pembatasan waktu penggunaan deposit prabayar. Kuota juga dianggap sebagai barang konsumsi, bukan alat pembayaran yang wajib dikembalikan saldonya.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah praktik ini adil dan transparan? Secara akuntansi, pendapatan dari penjualan kuota prabayar seharusnya dicatat sebagai pendapatan diterima di muka dan baru diakui saat layanan digunakan. Jika kuota tidak terpakai, nilai tersebut seharusnya tetap dicatat secara akuntabel.

Laporan keuangan operator besar menunjukkan bahwa mereka telah mencantumkan akun "pendapatan ditangguhkan". Meski demikian, tingkat transparansi antar operator berbeda-beda, sehingga sulit bagi publik untuk menilai seberapa besar nilai kuota hangus yang menjadi pendapatan perusahaan dan apakah telah dikenakan pajak sesuai aturan.

Permasalahan ini semakin relevan jika melihat pola konsumsi internet masyarakat Indonesia. Rata-rata penggunaan data seluler per bulan masih berada di kisaran belasan gigabyte. Sementara, banyak operator menawarkan paket data bulanan dengan kuota puluhan gigabyte. Jika kuota yang ditawarkan jauh melampaui kebutuhan mayoritas pengguna dan kelebihannya hangus begitu saja, muncul pertanyaan apakah ini strategi pemasaran yang merugikan konsumen.

Literasi digital masyarakat Indonesia juga masih perlu ditingkatkan. Pemahaman terhadap fitur paket, masa aktif, dan rollover masih rendah, terutama di kalangan pengguna prabayar di daerah.

Negara lain seperti Singapura dan Malaysia menawarkan solusi seperti rollover kuota atau data pooling bagi keluarga. Beberapa operator bahkan memberikan opsi pembelian data yang tidak hangus dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Langkah korektif perlu segera dilakukan. Regulator dapat mendorong agar opsi rollover menjadi fitur standar, operator mengungkapkan nilai kuota hangus di laporan keuangan secara terbuka, dan literasi digital mengenai pembelian paket dan masa aktif diperkuat.

Industri telekomunikasi Indonesia telah berkembang pesat dan menjadi tulang punggung transformasi digital nasional. Keberlanjutan industri ini tidak hanya ditopang oleh logika komersial, tetapi juga harus menjunjung tinggi etika bisnis, keadilan konsumen, dan akuntabilitas publik. Kuota internet telah menjadi hak dasar masyarakat, dan penghangusan kuota yang tidak adil dapat mengikis kepercayaan konsumen.

Scroll to Top