Hanung Bramantyo kembali dengan film yang menggugah rasa ingin tahu, Gowok Kamasutra Jawa. Judulnya mungkin provokatif, tetapi film ini ternyata menawarkan lebih dari sekadar sensualitas. Ini adalah perpaduan menarik antara sejarah, budaya Jawa, isu feminisme, dan elemen thriller yang dibungkus dalam drama yang berani.
Film ini tidak hanya mengeksploitasi profesi gowok. Penulis naskah berhasil memberikan pengetahuan dan klarifikasi tentang profesi ini dari sudut pandang yang lebih mendalam. Filosofi di balik profesi gowok dijelaskan dengan baik, memberikan pemahaman mengapa profesi ini eksis di tengah masyarakat Jawa yang kaya akan tradisi dan kitab-kitab kuno. Latar belakang ini krusial untuk memahami alur cerita dan mengubah persepsi tentang ilmu gowok itu sendiri.
Walaupun beberapa istilah mungkin asing bagi penonton yang kurang familiar dengan budaya Jawa, hal ini tidak mengurangi pemahaman akan cerita secara keseluruhan. Film ini juga menyinggung isu sosial dan politik dalam sejarah Indonesia, ciri khas Hanung Bramantyo.
Film ini memiliki kesamaan semangat dengan "Tuhan, Izinkan Aku Berdosa" (2023), yaitu semangat feminisme yang terasa kuat meskipun berada dalam wilayah abu-abu. Hanung berusaha untuk lebih eksplisit dalam menyampaikan posisinya tentang isu-isu sensitif dan memperluas isu sosial yang berkaitan dengan perempuan pada masa itu. Pesan pemberdayaan perempuan disampaikan sesuai dengan konteks waktu dan sosial, sehingga relevan meskipun sulit dipahami dengan kacamata era modern.
Para pemain, terutama duet Alika Jantinia dan Devano Danendra, berhasil menghidupkan film ini dengan gairah, emosi, dan chemistry yang kuat. Mereka memberikan performa terbaik dalam situasi yang penuh tantangan.
Tim desain produksi, set properti, tata rias, dan wardrobe patut diacungi jempol karena berhasil menciptakan atmosfer budaya dan masa lampau yang kental. Niat untuk membangun properti masa lalu patut diapresiasi karena meningkatkan nilai cerita.
Sayangnya, efek visual komputerisasi terasa kurang memuaskan dan tidak sebanding dengan bujet produksi. Selain itu, tone warna kuning dan saturasi yang mencolok mata mengurangi keindahan visual film ini. Penyuntingan visual yang kurang baik menodai potensi keindahan autentik yang seharusnya bisa menjadi nilai tambah.