Aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Bukan hanya organisasi non-pemerintah (LSM), tetapi juga tokoh publik turut menyuarakan kekhawatiran atas dampak kegiatan ini terhadap kelestarian surga wisata tersebut.
Meskipun kegiatan penambangan di Raja Ampat diperbolehkan secara hukum, dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat adanya lima perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah itu, namun fakta di lapangan menunjukkan persoalan serius.
Kabar terbaru menyebutkan bahwa izin empat dari lima perusahaan tersebut terancam dicabut. Penyebabnya adalah temuan pelanggaran terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai keberlanjutan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, serta keseimbangan antara potensi keuntungan ekonomi dan kerusakan lingkungan yang mungkin ditimbulkan. Masa depan Raja Ampat sebagai destinasi wisata kelas dunia pun menjadi taruhannya.