Polemik Beasiswa LPDP untuk Putri Annies Baswedan: Antara Prestasi dan Fitnah

Heboh kabar Mutiara Annisa Baswedan, putri mantan Gubernur DKI Jakarta, berhasil menembus Harvard University dengan beasiswa LPDP, memicu gelombang komentar di media sosial. Sayangnya, kebahagiaan ini ternoda oleh narasi negatif yang menyebut Tia, sapaan akrabnya, merebut hak orang miskin. Benarkah demikian?

Faktanya, LPDP memiliki dua jalur beasiswa: reguler dan afirmasi. Jalur reguler terbuka bagi seluruh Warga Negara Indonesia tanpa memandang status ekonomi. Syarat utamanya adalah prestasi akademik yang mumpuni, dibuktikan dengan IPK tinggi, kemampuan bahasa asing yang baik, dan dokumen pendukung yang lengkap. Persaingan di jalur ini sangat ketat, hanya mereka yang berprestasi yang mampu lolos. Sebelumnya, sejumlah selebriti ternama seperti Maudy Ayunda, Tasya Kamila, dan Isyana Sarasvati juga berhasil meraih beasiswa LPDP melalui jalur reguler tanpa menimbulkan kegaduhan.

Sementara itu, jalur afirmasi dirancang khusus untuk mereka yang membutuhkan dukungan tambahan karena kondisi ekonomi, geografis, atau disabilitas. Kategori penerima beasiswa afirmasi meliputi keluarga pra sejahtera, penduduk daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal), penyandang disabilitas, serta putra-putri Papua. Persyaratan IPK dan kemampuan bahasa Inggris di jalur afirmasi cenderung lebih fleksibel.

Intinya, baik kaya maupun miskin, setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan kesempatan meraih beasiswa LPDP asalkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Perlu diingat, mayoritas penerima beasiswa LPDP adalah mahasiswa S2 dan S3 yang umumnya berusia di atas 20 tahun. Pada usia ini, idealnya anak sudah mandiri secara finansial dan tidak lagi bergantung pada orang tua. Oleh karena itu, prestasi anak, sekalipun berasal dari keluarga berada, tetap layak diapresiasi dan didukung.

Mengapa Tia memilih LPDP, padahal memiliki peluang meraih beasiswa dari luar negeri yang tidak mewajibkan pengabdian di Indonesia? Mungkin saja, ia ingin melanjutkan jejak ayahnya untuk berkontribusi bagi bangsa.

Ironisnya, keberhasilan Tia justru memicu mentalitas kepiting (crab mentality) di kalangan netizen. Alih-alih memberikan dukungan, mereka justru mencari-cari celah untuk mencela dan merendahkan pencapaian orang lain. Bahkan, ada pula yang menggunakan isu ini untuk menyerang keluarga Baswedan, dengan narasi yang kontradiktif. Dulu dibilang miskin, sekarang dibilang kaya.

Terakhir, ada pula yang meremehkan jurusan yang diambil Tia di Harvard. Jika memang semudah itu, mengapa tidak semua anak-anak mantan presiden bisa menembus universitas bergengsi tersebut?

Scroll to Top