Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan terjadinya perkosaan massal pada Tragedi Mei 1998 menuai badai kecaman dari berbagai pihak. Dalam sebuah wawancara yang disiarkan di kanal YouTube IDN Times, Fadli menyatakan bahwa tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal, dalam peristiwa kelam tersebut dan mengklaim informasi itu hanya rumor yang tidak tercatat dalam buku sejarah.
Amnesty International Indonesia (AII) mengecam keras pernyataan Fadli tersebut sebagai bentuk pengingkaran ganda yang bertujuan untuk menghindari tanggung jawab. Direktur Eksekutif AII Usman Hamid menegaskan bahwa pernyataan Fadli jelas keliru karena Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden BJ. Habibie telah menemukan bukti adanya tindak kekerasan seksual di berbagai kota, termasuk Jakarta, Medan, dan Surabaya.
TGPF mencatat setidaknya 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual selama kerusuhan 13-15 Mei 1998. Mayoritas korban adalah etnis Tionghoa. Usman menambahkan bahwa pernyataan Fadli terlihat sebagai upaya menyangkal rekomendasi TGPF yang menyebut nama dua petinggi pemerintahan saat ini.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, yang terdiri dari 547 organisasi dan individu, juga mengecam pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi sejarah. Koalisi menilai bahwa Fadli, yang memimpin proyek penulisan ulang sejarah, berupaya menghilangkan narasi penting tentang pelanggaran HAM berat dari ruang publik.
Koalisi juga menegaskan bahwa pernyataan Fadli menunjukkan sikap tidak berempati terhadap korban, khususnya perempuan Tionghoa, serta kegagalan dalam memahami kekhususan kekerasan seksual. Mereka menuntut Fadli untuk mencabut pernyataannya, memberikan klarifikasi, dan menyampaikan permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM. Selain itu, koalisi juga menuntut penghentian proyek penulisan ulang sejarah yang dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan.