Mimpi iPhone "Made in USA": Harga Meroket dan Tantangan Realitas

Gagasan untuk memindahkan sepenuhnya produksi iPhone ke Amerika Serikat, yang sempat mencuat seiring kebijakan tarif impor baru, ternyata menyimpan sejumlah konsekuensi tak terduga. Alih-alih menjadi solusi ideal, wacana ini justru memunculkan kekhawatiran soal lonjakan harga yang signifikan.

Selama ini, China menjadi tulang punggung produksi Apple. Lebih dari 80% lini produksi perusahaan bergantung pada negara tersebut, bahkan untuk iPhone, angkanya mencapai 85-90%. Raksasa teknologi asal Cupertino ini bermitra dengan manufaktur besar berbasis di Taiwan seperti Foxconn, Pegatron, Wistron, dan Compal Electronics. Pabrik Foxconn di Zhengzhou dan Shenzen, yang dikenal sebagai "Kota iPhone", mempekerjakan ratusan ribu pekerja dengan kemampuan produksi jutaan unit dalam waktu singkat.

Salah satu daya tarik utama China adalah biaya tenaga kerja yang jauh lebih rendah. Pekerja Apple di Foxconn menerima upah sekitar Rp 61 ribu per jam, sangat kontras dengan upah minimum di California yang mencapai Rp 277 ribu per jam. Perbedaan signifikan inilah yang menjadi pemicu utama potensi kenaikan biaya produksi jika iPhone dibuat di AS.

Para analis memperkirakan, hanya dengan memindahkan proses perakitan akhir ke AS, harga iPhone bisa melonjak sekitar 25%. iPhone 16 Pro yang saat ini dijual sekitar Rp 20 juta bisa menjadi sekitar Rp 25 juta. Jika seluruh rantai pasokan, dari produksi chip hingga pengemasan, dipindahkan ke AS, harganya bisa mencapai Rp 58 juta.

Memindahkan rantai pasokan bukanlah perkara mudah. Investasi besar dibutuhkan, bahkan untuk memindahkan hanya 10% rantai pasokan, Apple harus mengelontorkan dana sekitar Rp 495 triliun dalam waktu tiga tahun. Biaya ini belum termasuk dampak tarif impor terhadap komponen yang masih harus didatangkan dari luar negeri, seperti layar dari Korea Selatan dan prosesor dari Taiwan. Tanpa pengecualian tarif, Apple akan terbebani pajak tambahan yang akan semakin mendongkrak harga jual produk.

Upaya membawa produksi Apple ke AS sebenarnya bukan hal baru. Pada 2017, Foxconn pernah berencana membangun pabrik senilai Rp 150 triliun di Wisconsin, namun proyek ini akhirnya gagal. Apple juga pernah mencoba memproduksi iPhone di Brasil, tetapi harga iPhone buatan Brasil hampir dua kali lipat dibanding yang diproduksi di China karena ketergantungan impor komponen dari Asia.

Selain biaya, Apple juga menghadapi tantangan dalam hal sumber daya. CEO Apple, Tim Cook, pernah menyatakan bahwa AS kekurangan tenaga ahli di bidang manufaktur, khususnya teknisi perkakas (tooling engineer) yang sangat penting dalam proses produksi. Jumlah tooling engineer di China jauh lebih banyak dibandingkan di AS.

Mewujudkan iPhone "Made in USA" memang terdengar menarik, namun realitasnya jauh lebih kompleks. Lonjakan harga yang signifikan dan keterbatasan sumber daya menjadi hambatan utama yang perlu dipertimbangkan secara matang.

Scroll to Top