Kabar mengejutkan datang dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes): lebih dari 23 ribu warga Indonesia terjangkit sifilis. Data ini menjadi alarm serius bahwa infeksi menular seksual masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat.
Kemenkes melalui akun media sosialnya mengingatkan bahwa sifilis tidak pandang bulu. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang gaya hidup. Seringkali, masyarakat memiliki pemahaman yang keliru mengenai sifilis, menganggapnya hanya disebabkan oleh perilaku tertentu. Padahal, ada berbagai faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit ini.
Sifilis: Lebih dari Sekadar Gaya Hidup
Sifilis adalah infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Penularan paling rentan terjadi pada tahap awal (primer dan sekunder), saat gejala sifilis sangat menular.
Penularan umumnya terjadi melalui hubungan seksual (vaginal, oral, anal) dengan seseorang yang memiliki luka sifilis aktif. Luka ini seringkali tidak terasa sakit, sehingga penderita tidak menyadarinya dan tetap menularkan penyakit.
Bakteri sifilis dapat masuk ke tubuh melalui luka kecil atau goresan pada kulit, atau melalui area lembap seperti mulut, alat kelamin, atau anus. Walaupun jarang, penularan juga bisa terjadi melalui ciuman atau kontak langsung dengan luka terbuka di mulut, lidah, payudara, atau alat kelamin.
Yang perlu diwaspadai, ibu hamil dapat menularkan sifilis kepada bayinya, baik selama kehamilan maupun melalui ASI. Penularan ini dapat menyebabkan komplikasi serius seperti kematian janin, bayi lahir mati, atau sifilis bawaan (kongenital).
Kemenkes menekankan pentingnya untuk tidak menganggap sifilis sebagai penyakit eksklusif bagi kelompok tertentu. Faktor risiko sifilis beragam, dan siapa pun berpotensi terinfeksi.
Meskipun seseorang yang pernah terinfeksi dan sembuh tidak akan mengalami kekambuhan, mereka tetap berisiko terinfeksi kembali jika melakukan kontak dengan luka aktif dari penderita sifilis lainnya.