Konflik ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin intensif, ditandai dengan penerapan tarif balasan dan potensi boikot yang saling merugikan.
Presiden AS, Donald Trump, meningkatkan tarif impor barang dari China hingga 245%, sebuah langkah yang dibalas China dengan menaikkan tarif impor dari AS sebesar 125%. Selain tarif, China menggunakan taktik lain, termasuk potensi pembatalan pesanan pesawat Boeing oleh maskapai penerbangan mereka. Padahal, sejumlah maskapai besar China telah memesan puluhan pesawat yang dijadwalkan tiba antara tahun 2025 dan 2027.
Senjata pamungkas China lainnya adalah penguasaan rantai pasokan logam tanah jarang, elemen penting dalam produksi teknologi tinggi, elektronik, dan kendaraan listrik. Badan Energi Internasional mencatat bahwa China menyumbang 61% dari produksi logam tanah jarang global. Pemerintah China telah menetapkan pembatasan ekspor pada tujuh jenis logam tanah jarang sebagai respons terhadap kebijakan perdagangan AS. Akibatnya, pengiriman magnet tanah jarang milik beberapa perusahaan Amerika dan Eropa telah ditahan di China.
Siapa yang akan menang dalam perang dagang ini? Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, berpendapat bahwa tidak ada pemenang sejati dalam perang dagang ini. Kedua negara terjebak dalam situasi yang saling merugikan. Meskipun AS mungkin tampak unggul dengan menerapkan tarif tinggi, strategi ini memicu balasan dari China.
Jika konflik ini berlanjut tanpa kompromi, kedua negara akan menderita kerugian bersama. Namun, perang dagang ini juga membuka peluang bagi negara lain untuk mengisi celah pasar dan memperkuat posisi global mereka. Negara yang mampu meredakan konflik dan membangun kembali kepercayaan akan memiliki keunggulan strategis. Kemenangan sejati terletak pada kerja sama yang menghasilkan nilai tambah global secara berkelanjutan.
AS memiliki kekuatan dalam sistem keuangan global, dominasi dolar, kekuatan Wall Street, dan keunggulan teknologi. China mengandalkan kekuatan manufaktur dan cadangan devisa yang besar. Ekspansi China melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan juga memperluas pengaruh ekonominya. Persaingan antara China dan AS bukan hanya tentang tarif, tetapi tentang pengaruh struktural yang membentuk tatanan ekonomi global.
Peluang dialog antara AS dan China tetap terbuka, karena kedua negara saling bergantung dalam rantai pasokan global. Tekanan ekonomi yang dirasakan oleh sektor industri, konsumen, dan pasar keuangan dapat mendorong negosiasi diplomatik. Forum internasional seperti G20 atau APEC juga menyediakan ruang untuk dialog.
Perang dagang yang berkepanjangan antara AS dan China akan berdampak serius bagi negara lain, termasuk Indonesia. Ketegangan ini dapat melemahkan permintaan global, menurunkan harga komoditas ekspor, dan mempersempit pasar luar negeri. Rantai pasokan internasional juga akan terganggu, yang dapat menekan sektor manufaktur Indonesia. Nilai tukar rupiah dapat melemah, dan pasar keuangan domestik dapat mengalami volatilitas.
Pemerintah Indonesia perlu memperkuat daya tahan ekonomi domestik, memperluas pasar ekspor non-tradisional, dan menjalankan diplomasi ekonomi yang agresif. Dengan demikian, Indonesia dapat membangun posisi strategis sebagai penyeimbang dalam peta ekonomi dunia.