Pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang meragukan adanya bukti pemerkosaan massal pada tragedi Mei 1998 menuai kecaman keras dari berbagai pihak. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menilai pernyataan tersebut sangat tidak pantas dan berpotensi menghapus jejak sejarah kelam kekerasan seksual.
Nihayatul menekankan bahwa tragedi pemerkosaan Mei 1998 adalah fakta kemanusiaan yang telah diakui secara luas oleh Komnas Perempuan dan berbagai lembaga independen, baik nasional maupun internasional. Ia menyarankan agar Menteri Kebudayaan melakukan kajian mendalam, menemui keluarga korban, atau menugaskan tim peneliti untuk memperoleh informasi yang akurat sebelum melontarkan pernyataan kontroversial.
Menurut Nihayatul, temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah mengungkap sejumlah kasus pemerkosaan massal. Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah penegakan hukum, bukan justru pengingkaran terhadap kebenaran yang menyakitkan para korban.
Tragedi Mei 1998 bukan hanya menelan banyak korban jiwa, tetapi juga meninggalkan luka mendalam bagi perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Fakta-fakta pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa telah terdokumentasi dalam laporan Komnas Perempuan, TGPF, dan menjadi perhatian dunia internasional. Mengingkari fakta tersebut sama saja dengan merendahkan martabat korban dan menutup ruang pemulihan bagi mereka.
Sebelumnya, pernyataan Menteri Kebudayaan dalam sebuah wawancara telah memicu kritik luas dan desakan untuk meminta maaf. Komnas Perempuan menilai pernyataan tersebut menyakitkan dan memperpanjang impunitas bagi pelaku.
Dalam klarifikasinya, Menteri Kebudayaan mengapresiasi kepedulian publik terhadap sejarah, termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998. Ia menyebutkan bahwa peristiwa huru hara pada 13-14 Mei 1998 menimbulkan berbagai perspektif, termasuk ada atau tidaknya perkosaan massal. Ia juga menyinggung laporan TGPF yang dinilainya hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid.
Menteri Kebudayaan menegaskan bahwa dirinya mengutuk dan mengecam keras segala bentuk perundungan dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi pada masa lalu maupun saat ini. Ia juga menyatakan bahwa apa yang disampaikannya tidak menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998. Baginya, segala bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan.