Iran di Ambang Bom Nuklir: IAEA Beri Peringatan Keras

Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, melontarkan pernyataan mengejutkan bahwa Iran "tidak jauh" dari memiliki bom nuklir. Pernyataan ini muncul menjelang kedatangannya di Teheran untuk melakukan serangkaian perundingan penting.

Kekhawatiran tentang ambisi nuklir Iran bukanlah hal baru. Negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, telah lama mencurigai Iran berupaya mengembangkan senjata nuklir. Tuduhan ini selalu dibantah oleh Teheran, yang bersikeras bahwa program nuklirnya ditujukan untuk tujuan damai.

"Mereka memiliki semua komponen, dan suatu hari mereka bisa merakitnya," ujar Grossi, menggambarkan situasi yang mengkhawatirkan. "Masih ada pekerjaan yang harus dilakukan, tetapi mereka tidak terlalu jauh. Kita harus mengakui itu."

Sebagai pengawas nuklir PBB, Grossi memiliki mandat untuk memantau program nuklir Iran dan memastikan kepatuhannya terhadap kesepakatan nuklir 2015. Kesepakatan ini mengalami kemunduran setelah Amerika Serikat menarik diri di bawah pemerintahan Donald Trump.

Grossi menekankan bahwa jaminan Iran tidak memiliki senjata nuklir tidak cukup. "Kita perlu memiliki kemampuan untuk memverifikasi," tegasnya.

Di Teheran, Grossi bertemu dengan Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi dan kepala badan energi nuklir Iran, Mohammad Eslami. Kunjungan ini bertepatan dengan persiapan putaran kedua perundingan antara Iran dan Amerika Serikat, setelah pertemuan tingkat tinggi pertama sejak Trump meninggalkan kesepakatan nuklir.

Namun, di tengah upaya diplomatik, perbedaan pendapat tetap mengemuka. Araghchi menegaskan bahwa pengayaan uranium Iran "tidak dapat dinegosiasikan", menyusul seruan dari utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, agar pengayaan tersebut dihentikan.

"Pengayaan Iran adalah masalah yang nyata dan dapat diterima," kata Araghchi. "Kami siap membangun kepercayaan dalam menanggapi kekhawatiran, tetapi masalah pengayaan tidak dapat dinegosiasikan."

IAEA melaporkan bahwa Iran memiliki 274,8 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60 persen. Tingkat ini jauh melampaui batas 3,67 persen yang ditetapkan oleh kesepakatan 2015, tetapi masih di bawah ambang batas 90 persen yang diperlukan untuk hulu ledak nuklir.

Menjelang perundingan baru, Araghchi mengecam "posisi yang bertentangan" dari pemerintahan Trump. Dia berharap untuk memulai negosiasi tentang kerangka kerja kesepakatan, tetapi menekankan perlunya "posisi yang konstruktif" dari Amerika Serikat.

Iran telah menggarisbawahi "garis merah" dalam perundingan, termasuk penolakan untuk membahas kemampuan militer negara itu, pengaruh regional, dan program rudalnya. Meskipun pembicaraan awal berjalan baik, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memperingatkan bahwa perundingan tersebut masih bisa gagal.

Di tengah ketegangan yang meningkat, masa depan program nuklir Iran dan stabilitas regional tetap menjadi perhatian utama.

Scroll to Top