Politik Australia sedang memanas akibat manuver kontroversial dari pemimpin oposisi, Peter Dutton. Ia membuat pernyataan yang keliru mengenai Presiden RI, Prabowo Subianto, terkait isu sensitif potensi kehadiran militer Rusia di Papua.
Kontroversi ini bermula dari laporan sebuah media pertahanan yang mengindikasikan adanya rencana Rusia untuk mendirikan pangkalan militer udara di Biak, Papua. Dutton kemudian menanggapi laporan ini dengan menuding pemerintah Australia lalai karena tidak mengetahui informasi ini sebelum "diumumkan secara publik" oleh Presiden Prabowo.
Dutton mengklaim bahwa komentar yang ia lihat berasal dari juru bicara Indonesia, yang jelas merupakan perwakilan pemerintah, mengenai negosiasi atau diskusi antara Rusia dan Indonesia.
Pernyataan ini langsung memicu reaksi keras dari koalisi pemerintahan Perdana Menteri Anthony Albanese. Pasalnya, Prabowo belum pernah mengeluarkan pernyataan publik atau pengumuman apapun terkait isu tersebut.
Partai Buruh, yang menaungi Albanese, menuduh Dutton menggunakan isu ini untuk kepentingan politik. Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, bahkan menyebut Dutton terlalu gegabah dan agresif untuk menjadi seorang Perdana Menteri, apalagi setelah Indonesia mengklarifikasi bahwa wacana pembangunan pangkalan militer Rusia di Papua adalah tidak benar.
"Peter Dutton mengarang pernyataan Presiden Indonesia. Ini adalah tindakan luar biasa untuk seseorang yang bercita-cita menjadi PM," tegas Wong.
Ketegangan ini muncul di tengah persiapan Australia menuju pemilihan umum. Albanese sendiri telah menegaskan penolakannya terhadap kehadiran Rusia di dekat wilayahnya.
"Kami jelas tidak ingin melihat pengaruh Rusia di wilayah kami," kata Albanese kepada wartawan.
Menyadari kekeliruannya, Dutton akhirnya meminta maaf kepada publik dalam debat terbaru.
"Referensi yang saya buat seharusnya tidak ditujukan kepada presiden, melainkan kepada sumber dari pemerintahan Prabowo," jelas Dutton. "Itu adalah kesalahan dan saya dengan senang hati mengakuinya."