Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, menanggapi polemik seputar rencana pembangunan rumah subsidi dengan luas minimal 18 meter persegi. Gagasan ini muncul setelah mendengarkan aspirasi masyarakat, terutama terkait kebutuhan hunian di perkotaan.
Menurut Maruarar, selama ini rumah subsidi berukuran standar (60 meter persegi) sulit ditemukan di wilayah perkotaan akibat mahalnya harga lahan. "Rumah subsidi hampir tidak ada di Jakarta atau Bandung, karena harga tanah yang tinggi," ujarnya.
Rencana ini bertujuan untuk menyediakan opsi hunian yang lebih terjangkau, khususnya bagi generasi milenial yang tinggal di kota. Maruarar menekankan bahwa banyak anak muda lebih mengutamakan lokasi yang strategis dan hunian yang layak daripada ukuran yang luas. "Yang terpenting adalah tempat yang layak dan tidak kumuh, ukuran tidak terlalu besar pun tidak masalah," katanya.
Saat ini, program rumah subsidi mengalokasikan dana untuk membangun 350 ribu unit rumah. Setiap unit rumah melibatkan sekitar 5 pekerja, sehingga totalnya menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 1.650.000 orang.
Maruarar menegaskan bahwa wacana ini masih bersifat usulan dan belum ada keputusan final dari Kementerian PKP. Tujuannya adalah untuk menjaring opini publik dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagai informasi, Kementerian PKP tengah menyusun draf Keputusan Menteri yang mengatur batasan luas lahan, luas bangunan, dan harga jual rumah subsidi. Dalam draf tersebut, luas minimal tanah untuk rumah tapak diusulkan menjadi 25 meter persegi, dengan luas bangunan minimal 18 meter persegi.
Peraturan sebelumnya menetapkan luas bangunan minimal 21 meter persegi dan luas tanah minimal 60 meter persegi. Rencananya, rumah subsidi berukuran minimalis ini akan diprioritaskan untuk wilayah perkotaan, sementara wilayah perdesaan tetap mengikuti aturan yang lama. Rumah subsidi 18 meter persegi ini ditujukan bagi individu lajang atau pasangan suami istri dengan satu anak.